Jumat 05 Sep 2014 17:54 WIB

Haji, Simulasi Umat Teladani Perjuangan Agama Ibrahim (1)

Rep: c78/ Red: Agung Sasongko
Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Hawe Setiawan. Budayawan Sunda ini menerima undangan Allah berangkat ke tanah suci di usia 26, dalam status masih menyandang predikat mahasiswa yang belum kunjung lulus. Ketika itu, ia tengah dalam pencarian jarti diri, sambil berkutat pada penyelesaian tugas akhir.

“Saya juga sibuk bekerja paruh waktu, banyak membaca buku filsafat, sehingga pemikiran saya jadi agak sekuler ketika itu,” katanya mengenang kepada ROL, Jumat (5/9).

Ketika semua orang mendamba, berlomba-lomba ingin menunaikan rukun Islam yang ke lima itu dengan segenap kesungguhan hati, jelang keebrangkatan ke tanah suci, Pria kelahiran Subang, Jawa Barat, 21 November 46 tahun yang lalu ini malah menganggap perjalanannya pada 1994 itu hanyalah perjalanan ke luar negeri yang biasa. Padahal, ia punya latar belakang sosiologis dan lingkungan yang dekat dengan kehidupan Islami. Di masa kecil, ia tumbuh di lingkungan pesantren di daerah Subang, dengan ajaran Islam salaf.

Ia bahkan masih bertanya-tanya, untuk apa ia berangkat haji? Lebih lanjut, ia bahkan menganggap perjalanannya ke tanah suci karena untuk menemani sang nenek yang memang sudah lama sekali bermimpi melakukan tawaf di Kabah—dan memang faktanya, kala itu ia berangkat lewat jalur haji reguler, dibiayai keluarga, bertugas mendampingi sang nenek beribadah di sana. 

Namun di dalam pesawat, sepanjang jalan dari Halim ke Jeddah, ia membaca buku berjudul Haji, karya Ali Syariati yang menurutnya sangat berarti dalam memunculkan wawasan ibadah haji dan jalan penyadaran atas ritual haji di Makkah nanti. “Meski saya bukan Syiah, saya membaca banyak buku, termasuk karya Ali Syariati,” ujar kata alumni Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Dalam buku itu, ia mengambil pelajaran bahwa haji merupakan rekonstruksi perjuangan monotheisme ajaran Nabi Ibrahim. Ia mengistilahkan, jamaah haji terdiri dari manusia sebagai individu yang masuk ke dalam satu pusat, kemudian ia datang menjadi setetes air yang melebur di dalam lautan. Haji, lanjut dia, adalah pengalaman manusia untuk menghayati wawasan monoteistik di dalam kaitannya dengan kebersamaan manusia sejagat.

Kang Hawe—sapaan akrabnya, melanjutkan kisah. Sesampainya di tanah suci, ia mengalami situasi yang aneh. Di sana ia melihat semua orang yang menangis sambil memeluk dinding Kabah. Seperti ada yang membimbing, ia naik ke lantai Masjidil Haram yang paling atas. Dari sana ia melihat pemandangan itu secara lebih menyeluruh.

Lantas lintasan kesadaran religi tebersit. Redaktur majalah sunda Cupumanik ini berpikir, tawaf adalah metafora. Karena manusia selalu butuh pegangan dan penyeimbang. Kabah adalah titik pusat manusia yang menjadi poros  kehidupan. “Ke mana pun kamu pergi, kamu tidak bisa terlepas dari titik pusat itu, semacam titik grafitasi di mana individu tertarik dan melebur jadi satu,” katanya. Malam itu pun, ia ikut melebur dalam tawaf dan merasa sangat menikmatinya.

Pengalaman lainnya, ketika ritual lempat jumrah tiba. Sebagai konsekuensi tawaf, serta realisasi komitmen pada tauhid alias keesaan Allah, ia pun ikut melempar jumroh. Yakni symbol perang melawan berhala, baik yang tampak, maupun yang tidak. Berhala, lanjut dia, bukan sebatas patung yang disembah, atau cincin yang jadi keramat. Berhala mungkin tidak disadari tapi telah sekian lama kita sembah. Misalnya uang, pekerjaan, rasa cinta dan prestasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement