REPUBLIKA.CO.ID, Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 meter dari permukaan tanah. Ia tertanam di bagian dalam dinding Ka’bah yang mulia.
Dulu diameter Hajar Aswad sekitar 30 centimeter. Akibat berbagai peristiwa yang menimpanya sepanjang masa, kini Hajar Aswad tersisa delapan butir batu kecil sebesar kurma yang dikelilingi oleh bingkai perak.
Namun, tidak semua yang terdapat di dalam bingkai adalah Hajar Aswad. Butiran Hajar Aswad tepat berada di tengah dempulan dalam bingkai. Butiran inilah yang dicium dan disentuh oleh jamaah haji.
Dari Hajar Aswad, thawaf dimulai dan diakhri. Oleh karena itu, ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa penentuan rukun ditinjau dari eksistensinya sebagai sudut terpenting di Baitullah, yaitu rukun sebelah timur, tempat dimulainya thawaf.
Warna asal Hajar Aswad adalah putih, tetapi bagian yang terlihat di permukaan kini berwarna hitam. Mungkin perubahan tersebut disebabkan oleh kebakaran yang pernah terjadi di Ka’bah pada masa kaum Quraiys.
Kemudian kebakaran kedua yang terjadi pada era Ibnu Az-Zubair yang mengakibatkan terpecahnya Hajar Aswad menjadi tiga pecahan. Saat membangun kembali Ka’bah, Ibnu Az-Zubair pernah berusaha untuk menahannya dengan perak.
Abdullah bin Abbas berkata, “Di bumi ini tidak ada suatu benda dari surga selain Hajar Aswad dan batu Maqam Ibrahim. Keduanya termasuk permata-permata surga. Seandainya tidak pernah disentuh oleh orang musyrik, maka setiap orang cacat yang menyentuhnya, pasti akan disembuhkan Allah.”
Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim adalah dua permata yaqut dari surga yang telah dihapus oleh Allah cahayanya. Seandainya tidak demikian, pasti akan menerangi semua yang berada antara timur dan barat.”
Iyadh berkata, “Hajar Aswad adalah batu yang dimaksud oleh Nabi saat beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku tahu ada sebuah batu yang dulu memberi salam kepadaku. Ia adalah permata yaqut berwarna putih, lebih putih daripada susu. Lalu Allah mengubahnya menjadi hitam akibat berbagai dosa anak Adam dan sentuhan orang-orang musyrik padanya.”
Batu ini selalu dihormati, diagungkan, dan dimuliakan, baik pada masa jahiliyah maupun Islam. Orang-orang mencari berkah padanya dan menciumnya. Hingga tibalah pada suatu ketika Makkah dimasuki kaum Qaramithah secara paksa pada 317 H.
Mereka merampas Makkah, membantai para jamaah haji, menguasai Baitullah, mencabut Hajar Aswad, dan membawanya ke negeri mereka di Kota Ahsa’ yang terletak di wilayah Bahrain.
Bajkam At-Turki, seorang penguasa Baghdad, telah mendermakan ribuan dinar kepada mereka pada masa pemerintahan Ar-Radhi Billah agar mereka bersedia mengembalikannya. Akan tetapi, mereka tidak pernah melakukannya.
Lalu, Abu Ali Umar bin Yahya Al-Alawai, seorang khalifah yang taat pada Allah, tampil sebagai penengah pada 339 H. Akhirnya, mereka pun bersedia untuk mengembalikannya. Mereka membawanya ke Kufah, lalu menggantungkannya di tiang ketujuh Masjid Jami’.
Setelah itu, mereka mengembalikannya ke tempat semula. Mereka beralasan, “Kami telah mengambil berdasarkan perintah dan mengembalikannya berdasarkan perintah pula.” Lama masa hilangnya sekitar 22 tahun. (Atlas Haji & Umrah karya Sami bin Abdullah Al-Maghlouth)