REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Gedung Madinatul Hujjaj tampak kokoh berdiri di tengah Kota Jeddah, Arab Saudi. Sekilas, jika dilihat dari kejauhan, bangunan yang berada satu kompleks dengan bandara lama Jeddah tersebut masih tampak kuat.
Tetapi, bangunan bandara lama Jeddah di sebelah barat Madinatul Hujjaj saat ini sudah rata dengan tanah. Belum diketahui, bekas bandara lama Jeddah akan menjadi bangunan apa. Yang tersisa hanya kompleks gedung Madinatul Hujjaj atau asrama transit terpadu jamaah haji Indonesia dan jamaah haji Malaysia.
Di seberang gedung Madinatul Hujjaj hanya tersisa bangunan deretan toko-toko satu lantai yang sudah kosong. Dahulu, toko-toko tersebut selalu ramai menjajakan oleh-oleh dan suvenir bagi ribuan jamaah haji yang istirahat di Madinatul Hujjaj.
Secara fisik, kompleks gedung Madinatul Hujjaj tak terlalu buruk, meski sebenarnya sudah tak layak ditempati. Ada dua gedung utama yang dipisahkan satu gedung berlantai dua. Gedung dua lantai itu berfungsi sebagai kantor. Di depan kantor ini ada tulisan arab dengan kalimat "Wakaf Malik Abdul Aziz".
Struktur dasar bahan bangunan di kedua gedung utama itu sama. Dua gedung utama terletak di sisi barat --atau saya sebut gedung A-- dan sisi tenggara (gedung B) dari kantor tadi. Meski dari sisi ukuran, kompleks gedung di gedung B lebih luas dari bangunan gedung A. Kompleks gedung A memiliki empat lantai, sedang gedung B ada lima lantai. Gabungan kapasitas tempat tidur di gedung A dan B ini bisa mencapai 20 ribu orang.
Bentuk gedung A berupa persegi empat namun sisi timur lebih memanjang. Kini, di bangunan utama gedung A hanya terdapat Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Daker Jeddah untuk perawatan dan pengobatan jamaah haji yang sakit atau menjalani kontrol. BPHI hanya menempati tiga ruangan yang dijadikan satu tempat di lantai satu di sisi selatan gedung A.
BPHI Daker Jeddah ini dipimpin Kasie Kesehatan PPIH Daker Jeddah dr Lucky Tjahjono. Jamaah haji yang dirawat di BPHI ini merupakan jamaah yang sempat dirawat di Klinik Kesehatan di Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah atau disebut Oktagon, namun harus membutuhkan rujukan.
"Kalau jamaah haji saat dirawat di BPHI ini sudah sehat, akan dikembalikan ke rombongannya atau ketua kloter. Tapi, kalau butuh rujukan, maka akan ditujuk ke RS International King Fadh Jeddah," ujar dr Lucky yang sudah 10 tahun menjadi petugas PPIH.
Dari sekian ruang kamar di gedung A, hanya beberapa kamar yang masih dioperasikan untuk tempat tidur dan transit supir mobil operasional dan ambulans BPHI Daker Jeddah. Saya hitung ada lima kamar untuk istirahat dan satu ruangan untuk dapur. Ruang kamar mandi terdiri empat bilik berlantai keramik, dan semuanya bersih.
Beberapa kamar tidur atau transit ini kadangkala dipakai untuk beristirahat oleh petugas PPIH Daker Jeddah, Tim Komisioner Komisi Pengawas Haji Indoesia (KPHI), BPK serta pejabat Kemenag RI yang sedang sidak atau ramah tamah. Tempat tidurnya hanya kasur tanpa dipan. Kamar-kamar yang masih dioperasikan ini berlantai keramik, bersih, tersedia AC.
Satu kamar terdiri delapan kasur. Dinding kamar terkesan baru saja dicat. Saya menyempatkan tidur siang di salah satu kamar tersebut. Baru merebahkan tubuh, langsung terlelap dalam mimpi. Nikmat. Tiang utama bangunan gedung A berdiameter sekitar 50-60 cm dan terlihat masih kuat. Disampingnya ada tiang besi, yang berfungsi menopang atap kamar.
Selain BPHI dan kamar-kamar tadi, ruangan lain di gedung A praktis dibiarkan kosong. Aula utama yang dahulu menjadi tempat berkumpulnya jamaah haji dari berbagai kloter dan mendapatkan makanan gratis selama transit sudah tak difungsikan. Deretan kamar-kamar di sisi lain sengaja dibiarkan, sehingga semakin lama semakin rusak.
"Pada saat saya berhaji tahun 1998, di aula utama ini (sambil menunjuk lokasi aula, red), tersedia berbagai makanan yang disediakan panitia, dan semua jamaah bisa makan sepuasnya serta ngobrol-ngobrol dengan jamaah dari kloter lain," tutur dr Agus Hidayat, kepala Pelayanan Umum Kesehatan PPI Daker Jeddah, kepada saya.
Saat gedung A masih beroperasi era 1990-an hingga tahun 2005, sejumlah pedagang makanan khas Indonesia menjajakan jualannya di depan gedung A. Sebagian dari mereka adalah mukimin (warga Indonesia yang menetap di Jeddah) atau keluarga petugas temus (tenaga musiman). "Harga makanan masih satu riyal per porsi.
Ada pecel, nasi uduk, sayur mayur. Pokoknya khas Indonesia lah," tutur Agus yang saat berhaji tahun 1998 menjadi petugas Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI). Di bekas lokasi berjualan ini ada ruangan yang satu bangunan dengan gedung A. Ruangan ini sekarang dimanfaatkan sebagai tahanan anak oleh kepolisian setempat. Bersambung..