REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Selain wafat di dalam pesawat, sikap longgar Kemenhub dan maskapai penerbangan Garuda Indonesia juga berimbas pada tertahannya puluhan jamaah haji yang sakit kritis di Arab Saudi, karena ketiadaan larangan menjalankan ibadah haji akibat sakit keras.
"Sekarang terbukti, ada puluhan jamaah haji yang dilarang pulang karena sakit keras. Mereka bisa lewat (masuk Arab Saudi), tapi tidak bisa pulang," ujar Fidiansjah.
Hingga Senin, 27 Oktober 2014, terdapat 20 jamaah haji dirawat di RS King Fadh Makkah, RS King Madinah dan RS King Fadh Jeddah. Belasan di antaranya merupakan pasien kritis atau kondisi koma dengan alat bantu pernafasan.
Meski jadwal kepulangan sebagian dari mereka sudah lewat atau mendekati hari ini, namun mereka dilarang meninggalkan Arab Saudi.
Sedangkan, keterlibatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), tutur Fidiansjah, terkait kemudahan pengurusan visa petugas PPIH dan jamaah haji.
Fidiansjah mendesak adanya reformasi visa. Sebab, sejauh ini, pengurusan visa untuk petugas dan jamaah haji masih lambat diproses. Padahal, kata dia, agenda pelayanan haji berlangsung setiap tahun.
Seharusnya, jelasnya, penanganan bisa sudah tuntas minimal lima bulan sebelum kloter pertama berangkat ke Tanah Suci. Sehingga, petugas bisa dipastikan siapa yang berangkat, dan kesiapannya lebih matang.
"Kita sudah sodorkan nama-nama petugas agar visanya lekas keluar. Tetapi, seperti biasa, yang mana keluar duluan, yang mana prosesnya lama. Ini perlu reformasi visa untuk Menteri Luar Negeri yang baru," katanya.
Kemudian, keterlibatan MUI diperlukan dalam menyokong SKB tersebut untuk memberikan pemahaman Manasik Kesehatan kepada jamaah haji melalui jalur informal atau kyai dan tokoh agama yang disegani masyarakat/jamaah haji, khususnya masyarakat/jamaah haji yang tinggal di pedesaan.
Sebab, saat ini, ujar Fidiansjah, MUI mengeluarkan dua Fatwa untuk jamaah haji yakni fatwa kemampuan biaya dan perjalanan. Sedankan Fatwa untuk istitha'ah (kemampuan) kesehatan belum ada.