REPUBLIKA.CO.ID,
Menurut Rinto, banyak jamaah haji yang tidak tahu tata cara membayar dam, seperti di mana tempat untuk membeli kambing, menyembelihnya, termasuk kendala bahasa saat melakukan transaksi.
Mempertimbangkan berbagai kesulitan itu, menurutnya, pembayaran dam secara kolektif akan lebih memudahkan para jamaah haji untuk memenuhi semua kewajibannya dan menjadi haji mabrur.
Kementerian Agama (Kemenag) pada pekan sebelumnya, menyatakan belum bisa memutuskan teknis pembayaran dam (denda) haji secara kolektif.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kemenag Abdul Djamil mengatakan bahwa pembayaran dam merupakan kewajiban sepenuhnya jamaah haji tamattu' maupun qiran.
“Kita enggak bisa putuskan itu hak jamaah, tapi kalau mau kolektif, juga bisa, kita punya banyak petugas di sana,” ujar Djamil.
Meskipun, diakuinya, pembayaran dam kolektif merupakan teknis yang efektif untuk menjaga dan melindungi para jamaah haji. Namun, kata Djamil, diperlukan cara yang tepat terkait pengambilan dana dam. “Apakah itu dari uang living cost para jamaah atau digabung dari ONH (ongkos naik haji),” katanya.
Hal itu, menurutnya, masih harus dibicarakan lebih lanjut karena itu menyangkut uang jamaah haji. “Tugas kita, yakni mengawasi dan melindungi pembayaran dam jamaah haji. Teknisnya seperti apa, yah sesuai persetujuan jamaah sendiri karena itu uang mereka,” ujar Djamil.
Sebelumnya, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan bahwa MUI telah menetapkan fatwa tentang pembayaran dam atas haji tamattu' dan qiran secara kolektif. Penetapan fatwa dilatarbelakangi adanya kebijakan pemerintah yang mengatur mekanisme pemberangkatan jamaah haji.
Secara umum, jamaah haji Indonesia memang bersifat tamattu', yakni melaksanakan umrah terlebih dahulu, kemudian haji. Bagi jamaah haji tamattu', mereka wajib membayar dam.
Pada praktiknya, pembayaran dam tidak terkoordinasi dengan baik sehingga menyulitkan jamaah. Distribusi dam pun tidak optimal serta rawan penyimpangan.