REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasehat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Mohammad Rocky setuju dengan Kementrian Agama yang menetapkan pengelola haji dan umrah khusus haruslah orang Muslim.
''Mengapa harus Muslim yang mengelola haji dan umrah khusus? Karena pengusaha Muslim lebih tahu dan lebih mengerti perihal manasik ibadah haji dan umrah. Jadi, bukan semata-mata perjalanan wisata,'' kata Mohammad Rocky kepada Republika, di Jakarta, Rabu (8/4).
Menurut Rocky, dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, justru lebih banyak nuansa spiritualitasnya ketimbang wisata. ''Harus disadari, paket yang dibuat para pengelola haji dan umrah khusus memuat praktik ibadah yang harus dijalankan oleh pengelola,'' ujarnya.
Mohammad Rocky lalu mencontohkan, manasik haji dan umrah yang harus dilakukan pengelola haji dan umrah sebelum para jamaah berangkat ke Tanah Suci. ''Manasik haji dan umrah ini tidaka mungkin dilakukan oleh pengelola nun-Muslim,'' ujarnya menjelaskan.
Lebih-lebih, sambung Rocky, para pengelola haji dan umrah, tak mungkin mengawasi para jamaahnya menunaikan rangkaian ibadah haji dan umrah di Tanah Suci.
''Sebab, non-Muslim tidak bisa memasuki dua kota suci, Makkah dan Madinah. Inilah yang menyebabkan munculnya Undang-undang Umrah dan Haji no 13 tahun 2008 yang mewajibkan penyelenggara haji dan umrah adalah seorang Muslim,'' paparnya.
Ketika ditanya wartawan, kenapa tiba-tiba Kemenag mempermasalahkan pengelola haji dan umrah harus orang Muslim? Mohammad Rocky mengatakan terindikasi adanya pengelola haji dan umrah yang didanai seorang non-Muslim. ''Padahal, undang-undang menyebutkan pengelola haji haruslah Muslim,'' kata Rocky menerangkan.
Mohammad Rocky menyebutkan, penyelenggaraan umrah dan haji memiliki daya tarik yang sangat menggiurkan. ''Faktanya, daftar tunggu ke Tanah Suci hingga puluhan tahun yang mampu menghimpun dana sangat besar,'' ujarnya menambahkan.