REPUBLIKA.CO.ID, Praktisi perbankan syariah Ahmad Riawan Amin memetik banyak hikmah dari ibadah haji. Ia pertama kali naik haji tahun 1998. Saat itu ia menjabat Kepala Divisi Sumberdaya Manusia (SDM) Bank Muamalat.
Tahun 1998 merupakan puncak krisis ekonomi Indonesia. Nilai tukar AS terhadap rupiah melonjak hingga Rp 17 ribu. Hal itu berdampak terhadap para jamaah haji khusus, termasuk Riawan Amin. “Saya pergi haji berutang untuk melunasi ongkos naik haji (ONH), sebab nilai dolar melonjak tajam,” tutur Riawan Amin kepada Republika di Jakarta, Kamis (27/8).
Pada saat berhaji pertama itu, Riawan mengajak istrinya untuk berhaji. Namun istrinya mengaku belum siap, karena ada anak masih kecil yang belum bisa ditinggal.
Tahun 2000, ketika Riawan sedang berada di Istambul, Turki, tiba-tiba istrinya menelepon. Ia ingin pergi haji tahun itu juga. “Padahal penutupan terminal haji di Jeddah, Arab Saudi, tinggal seminggu lagi. Waktunya sangat mepet,” tutur Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) itu.
Riawan, yang kala itu menjabat direktur utama Bank Muamalat, mendadak kembali ke Jakarta. “Alhamdulillah, kami mendapatkan visa di Bangkok, sehingga bisa berhaji tahun itu,” tutur mantan direktur utama Bank Jabar Banten (BJB) Syariah itu.
Riawan menceritakan, ada kisah sedih yang dia lihat langsung di Bangkok saat itu. Ada rombongan calon pengantin lelaki dan perempuan yang akan berangkat haji sekaligus menikah di depan Ka’bah. Namun ternyata, hanya rombongan yang laki-laki yang mendapatkan visa, sedangkan rombongan calon pengantin perempuan tidak dapat visa. Terpaksa rencana pernikahan di depan Ka’bah itu batal.
“Ada yang mengatakan, mungkin mereka niat menikah di depan Ka’bah lebih kuat daripada niat berhajinya,” ujar Riawan yang meraih gelar Master of Science dari University of Texas, Amerika Serikat dan menerima gelar Doctor Honoris Causa di 'Perbankan Islam' dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.