REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH --- Menjelang Magrib, Rabu (23/09), jamaah haji Indonesia mulai bergerak menuju Mudzalifah untuk melakukan prosesi Mabit. Secara bahasa, istilah ini berasal dari kata bata yang berarti menginap atau bermalam.
Sedangkan kata al Mabit berarti tempat menetap atau menginap.
Seluruh jamaah haji melakukan Mabit di Mudzalifah sebagai bagian dari wajib haji hingga tengah malam atau pagi hari, selanjutnya bertolak ke Mina.
Kepala Bidang Bimbingan Ibadah dan Pengawasan KBIH Ali Rokhmad menjelaskan, selama mabit di Mudzalifah, jamaah haji disunahkan mencari batu kerikil di sekitar tempat mabit, paling sedikit 7 buah untuk melontar jumrah aqabah esok pagi tangal 10 dzulhijjah sesampainya di Mina. Jamaah akan melakukan mabit di Mina hingga tanggal 12 dzulhijjah bagi yang nafar awwaldan 13 yang memilih nafar tsani.
Mabit dan istirahat di Muzdalifah dapat digambarkan sebagai pasukan tentara yang sedang menyiapkan tenaga dan memungut batu kerikil sebagai senjata untuk berperang melawan musuh manusia, yaitu setan. “Karena melontar jamrah menjadi perlambang memerangi setan atau iblis,” kata Ali.
Selaku pembimbing ibadah, Ali mengingatkan ada beberapa kekeliruan yang sering terjadi pada jamaah haji ketika mabit di Muzdalifah antara lain keyakinan harus mengumpulkan batu kerikil yang berasal dari Muzdalifah. Padahal batu yang berasal dari wilayah Tanah Suci pun diperbolehkan.
Dari sisi ritual, bermalam di Muzdalifah kesempatan bagi para jamaah haji untuk membersihkan diri dan membentengi hati dalam melawan musuh setan, dengan bertaubat, berdzikir dan bersyukur kepada Allah swt.
Menurut Ali, ada tiga kunci yang akan digunakan untuk memerangi setan atau iblis dalam fase kehidupan jamaah haji berikutnya. Pertama, kembali kepada Allah SWT menjadi hamba yang taat, dengan banyak berzikir, melantunkan kalimah tahlil, tahmid, dan membaca Alquran. Kedua, melakukan tafakkur atas keagungan Allah. “Terakhir selalu menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur,” ujar Ali.