"Apa beda orang Banten sekarang dan dahulu ketika tinggal di Makkah?’’ kata seorang petugas pelayanaan jamaah haji, Arsyad Hidayat, kepada pemilik Kedai Bakso Si Doel, Suwanda, di Bakhutmah, Makkah.
Yang diajaknya bicara tak bisa menjawab. Berulang kali Suwanda berusaha keras berpikir, tapi jawaban tetap tak muncul di otaknya.
“Kalau pengin tahu, dulu orang Banten ke Masjidil Haram kebanyakan untuk ngaji dan berhaji, sekarang untuk jualan bakso,’’ kata Arsyad.
Mendengar jawaban itu, Suwanda hanya bisa nyengir kuda saja. Sindirian itu begitu telak masuk ke hatinya.
Memang, bila datang ke Masjidil Haram di luar musim haji, setiap sore di masjid itu selalu dijumpai kerumunan orang yang mengaji atau mendengarkan ceramah. Mereka terbagi-bagi dalam beberapa ‘halakah’. Seorang guru berdiri di sebuah kursi, para muridnya mendengarkan ceramah.
Namun, pemandangan itu menghilang seiring dengan kedatangan rombongan haji.
Padahal, model mengajar seperti itulah yang sebenarnya menjadi sisa pengajaran model Islam masa lalu, sebelum kini di Makkah dan Madinah didirikan universitas.
“Tapi, salah satu guru mengajar di Haram (Masjidil Haram) adalah almarhum Syekh Nawawi al-Bantani. Dia orang dari Tanara, Banten,’’ kata Suwanda balik menyerang tak mau kalah.
Arsyad kini menimpalinya dengan senyuman. Master UIN Jakarta dan lulusan Al-Azhar ini pun membenarkannya.
“Salah satu cucu Syekh Nawawi, ya KH Ma’ruf Amin (Ketua Syuriah NU -red),’’ katanya.