Kamis 02 Mar 2017 14:19 WIB

Tujuh Hal yang Ingin Disampaikan KPHI untuk Raja Salman Terkait Haji

Raja Salman saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Rabu (1/3).
Foto: AP/Achmad Ibrahim, Pool
Raja Salman saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Rabu (1/3).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kunjungan istimewa Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz al Saud beserta rombongan istimewanya yang mencapai 1.500 orang ke Indonesia dinilai sebagai sebuah kehormatan bagi INdonesia. Setiap tahun umat Islam Indonesia mencapai satu juta orang yang berkunjung ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji dan umrah dengan mengunjungi dua kota suci umat Islam di Makkah dan Madinah. Pelayan dua tempat suci itu sekarang tidak lain adalah Raja Salman yang bergelar Khadimul Haramain Al Syariifain.

Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) mengharapkan kunjungan Raja Salman ke Indonesia bisa menghasilkan sejumlah  komitmen. “Komitmen ini untuk mendongkrak sejumlah pelayanan yang lebih profesional dan proporsional terhadap jamaah haji dan umrah dari Indonesia,” kata Ketua KPHI Samidin Nashir.

Samidin menekankan, tiap tahun Pemerintah KSA telah melakukan berbagai perbaikan dan penambahan infrastruktur  pelayanan terhadap jamaah haji dan umrah. “Namun, masih terdapat kekurangan yang sangat dirasakan oleh jamaah asal Indonesia,” ujar Samidin. Kekurangan yang perlu pembenahan," kata dia.

Pertama, kuota jamaah haji Indonesia tahun 2017 ketika kembali normal sama dengan kuota tahun 2010. Padahal, jumlah penduduk muslim Indonesia setelah berjalan tujuh tahun tentu bertambah banyak. Apalagi, tingkat kesadaran berhaji semakin meningkat tajam. Harapannya kuota jamaah haji Indonesia dievaluasi tiap lima tahun, sehingga jumlah kuota haji tiap lima tahun diadakan penyesuaian. Saat ini daftar tunggu (waiting list) rata-rata daerah mencapai 20 tahun dengan masa tunggu terlama tembus 42 tahun.

Kedua, pelayanan dokumen keimigrasian jamaah telah didukung dengan sistem dan teknologi canggih, tetapi kurang diimbangi dengan profesionalitas sumber daya manusia. Dampaknya, kelambatan penyelesaian dokumen jamaah, seperti terjadi di imigrasi kedatangan Bandara Jeddah.

Ketiga, tidak adanya tanda/petunjuk jalan dan arah yang menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu, walaupun kecil. Bahkan, arah yang khusus menuju lokasi kemah dan pemondokan jamaah haji Indonesia pun tidak ada, kecuali satu bendera atau papan nama sektor dan nomor rumah yang ditrmpel di rumah/hotel yang dipakai. Padahal, jamaah haji Indonesia dan negara rumpun Melayu dari segi jumlah sangat dominan.

“Akibatnya, sangat banyak jamaah Indonesia yang tersesat jalan, sehingga berdampak pada kelelahan, jatuh sakit dan tidak sedikit yang berakibat meninggal dunia,” ujar Samidin.

Keempat, kurangnya fasilitas tenda dan toilet di perkemahan Mina. Ketika kuota normal, banyak sekali jamaah haji Indonesia yang tidak mendapatkan ruang cukup untuk berlindung dari sengatan matahari. “Selain itu, antrean ke toilet di Mina, terutama di sekitar maktab 70-an, selalu mengular sepanjang waktu,” kata Samidin.

Karena itu, KPHI merekomendasikan, sudah waktunya pemerintah KSA membuat perkemahan Mina dengan bangunan semacam barak militer yang bertingkat dilengkapi pendingin udara dan toilet yang cukup. “Dengan membangun kemah bertingkat, tidak perlu lagi ada penempatan jamaah haji Indonesia di kawasan Mina Jadid yang kontroversial.”

Kelima, perlindungan jamaah haji Indonesia ketika berada disekitar Masjidil Haram dan Jamarat tidak mendapatkan pemanduan dan perlindungan yang memadai. “Semua petugas haji Indonesia yang melakukan pemantauan dan pemanduan jamaah dengan menggelar pos mobile selalu diusir oleh Askar Saudi,  kendatipun posisinya dipinggir yang sama sekali tidak mengganggu petugas Saudi dan jamaah haji yang lain,” kata Samidin.

Sementara itu, ada petugas haji dari negara lain diberikan kesempatan memantau dan memandu jamaahnya, padahal jumlah jamaahnya sedikit. Akibatnya, jamaah haji Indonesia banyak yang kebingungan, kesulitan mencari bantuan dari petugas haji Indonesia, dan akhirnya tersesat jalan atau kelelahan luar biasa sehingga jatuh sakit.

Keenam, fasilitas listrik di perkemahan Arafah setiap tahun bermasalah  (sering mati). Saat wukuf, listrik mati  dimana suhu panas mencapai puncaknya. Akibatnya, sebagian kipas angin di kemah jamaah reguler dan AC di kemah jamaah haji khusus tidak berfungsi. Peralatan medis di klinik kesehatan haji Indonesia juga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Akibatnya, kebanyakan jamaah haji terpapar panas sangat tinggi, sehingga mengalami dehidrasi. Penanganan jamaah yang sakit kritis terkendala listrik yang berakibat jamaah meninggal dunia bertambah banyak.

Ketujuh, komitmen Pemerintah KSA untuk segera memberikan santunan korban crane pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2015 yang hingga kini tidak jelas kepastiannya. Pemberian santunan kepada keluarga korban ini untuk memberikan kepercayaan kepada umat Islam bahwa janji Raja benar-benar ditepati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement