Selasa 14 Mar 2017 07:03 WIB

Help her...Help her, please...

Suasana Masjidil Haram selepas Isya, Ahad (5/3).
Foto: Republika/Reiny Dwinanda
Suasana Masjidil Haram selepas Isya, Ahad (5/3).

Oleh: Reiny Dwinanda*

IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Mencium Hajar Aswad merupakan salah satu sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi, aktivitas ini hanya bernilai ibadah saat dilakukan sebagai bagian dari tawaf.

"Pahami hukumnya sunah dalam konteks ibadah tawaf, bukan sekadar bisa menciumnya kapan saja menginginkannya," jelas Ustaz Budi Prayitno yang memandu saya berumrah bersama rombongan keluarga besar karyawan dan mitra Elcorps sepanjang 25 Februari hingga 6 Maret silam.

Jika tak memungkinkan untuk menciumnya, jamaah umrah cukup mengusapnya atau melambai ke arah hajar aswad. Tak perlu memaksakan diri untuk menciumnya

Ustaz Budi mengingatkan agar setiap Muslim yang sedang tawaf menyadari betul area Hajar Aswad berbahaya. "Bayangkan saja, ratusan orang mencoba menjangkau satu titik di sudut Ka'bah," ujarnya.

Tak heran jika banyak jamaah yang tergencet, terpijak, kehabisan tenaga, atau kehabisan napas saat mencoba mencium Hajar Aswad. Keluar dari area hajar aswad pun terkadang membutuhkan perjuangan tersendiri. Betapa tidak, kita berlawanan arah dengan jamaah yang hendak berjuang mencium hajar aswad.

Saat mencoba menjangkau Hajar Aswad pada Senin (6/3) dini hari, saya sontak berteriak minta tolong. Bukan lantaran lutut saya mendadak sakit, bukan pula lantaran kaki saya terpijak. 

Saya langsung berteriak minta tolong begitu melihat seorang ibu yang terpepet jamaah sampai kehabisan napas. Ibu berperawakan sedang dengan postur tambun itu terpojok oleh desakan jamaah, persis di depan hajar aswad. Pipinya sempat terdorong lagi ke lobang hajar aswad oleh tangan jamaah. Padahal, saat itu ia sudah megap-megap.

Saya julurkan tangan untuk menjangkau lengan ibu itu. Akan tetapi, saya tak kuasa menarik keluar ibu malang tersebut. Dia betul-betul terpojok oleh arus massa.

Saya meneriaki askar (tentara, penjaga) yang bergelayut menjaga hajar aswad. Dia menoleh sebentar lalu kembali memantau kondisi sekitar. Saya pun tersadar, askar itu tak mungkin meninggalkan tugasnya. 

Belakangan, dari Ustaz Budi saya tahu ada CCTV yang memantau seluruh area Masjidil Haram. Tim paramedis akan merespons dengan cepat jika ada jamaah yang membutuhkan pertolongan medis. Bisa jadi, pemandangan yang saya saksikan lumrah di titik itu. Wallahu a'lam.

Kala itu, kedua tangan saya sudah bergantian menyentuh hajar aswad, tetapi misi saya belum selesai. Bukan untuk menciumnya, melainkan untuk keluar area "pertempuran hawa nafsu" bersama ibu yang sedang tergencet itu. Saya senut dengan tanda kutip lantaran di sanalah dalam sepersekian detik saya harus memutuskan apa yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan, mendahulukan yang sunah (mencium hajar aswad) atau yang wajib (menolong sesama). Sambil terus berteriak meminta bantuan jamaah lain, saya terus memegangi lengan besar ibu berbusana hitam itu.

Kedua lutut saya memang belum pulih betul pasca beberapa kali operasi ini dan itu. Namun, Allah Mahamenguatkan. Tak sedikitpun ada rasa sakit ataupun lemah kala itu. Padahal, sedari Dzuhur hingga Maghrib, saya hanya sanggup shalat di mushala hotel Fairmont-Makkah Clock Royal Tower.

Selepas Maghrib berjamaah, saya mendekat ke kaca mushala dengan pemandangan lepas ke Masjidil Haram. Saya pandangi Ka'bah lekat-lekat. Dengan terisak, saya memohon agar Allah SWT membolehkan saya tawaf berulang kali dan mencium Hajar Aswad. Lutut saya nyeri sekali kala itu. Batuk yang mulai timbul sejak Miqat di Bir Ali juga membuat saya sesak seperti terkena asma.

Setiap kali jalan keluar kamar menuju lift, napas saya tersengal. Batuk pun susul menyusul. Sambil menahan nyeri lutut, saya ikhlaskan raga ini untuk shalat di mushala hotel sejak Dzuhur sampai Maghrib.

Saya takjub sekali menyadari dini hari itu saya bisa menyentuh Hajar Aswad tanpa sedikitpun merasakan keluhan kesehatan. Di lain sisi, saya sadar betul tak perlu memaksakan diri mencoba mencium hajar aswad di tengah desakan massa yang terasa semakin kuat. Apalagi, ada Muslimah lain yang harus ditolong. "Help her...Help her, please," teriak saya berulang kali dengan suara yang semakin serak dan pegangan yang mulai terlepas dari lengan ibu asal Asia itu.

Saya juga merasa mulai kehabisan oksigen. Jilbab saya sempat terjepit di antara tubuh jamaah lain. Sempat pula terdengar suara "kreeek..." dari kacamata saya yang beradu dengan pundak jamaah lain.

Namun, tak sampai lima menit berselang, seorang pria setinggi dua meter lebih tiba-tiba muncul di antara jamaah dari arah rukun Yamani. Dia tampak menjulang di antara jamaah lain yang rata-rata hanya sedadanya. Adik ipar saya berkelakar ketika mendengar bagian cerita ini. "Nah, itu pasti malaikatnya keluar, datang menolong," ujarnya setengah bercanda.

Pria berbahu lebar dan tegap itu tampak berpakaian ihram. Saya terperangah melihat dia mengangkat ibu yang bobotnya mungkin nyaris 100 kilogram itu semudah mengangkat bayi. Tangan kiri saya segera merangkul ibu itu sementara tangan kanan saya menggamitnya.

Suara Ustaz Budi pun terdengar jelas memanggil nama saya. Saya menoleh dan mendapati Ustaz Budi hanya berjarak dua langkah di belakang. Dari situ, seolah terbuka lapang jalan untuk keluar dari kerumunan massa. Masya Allah

Saya peluk dan cium ibu itu. Dia tak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk-angguk sambil mengatur napas ketika saya tanyakan, "Are you ok?"

Ustaz Budi lantas mengajak saya beristighfar, mengucap syukur, lalu menyempurnakan tawaf dengan shalat di belakang maqom Ibrahim. Sebelumnya, saya sempat dipandu untuk berdoa di Multazam dan menjadikan dinding Ka'bah sebagai saksi atas doa-doa yang saya panjatkan.

Ustaz Budi menyatakan saya beruntung bisa menjangkau Hajar Aswad dalam waktu yang relatif cepat saat melakukan tawaf sunah pada Senin (6/3) dini hari itu. Meskipun dini hari, area hajar aswad tak pernah sepi. "Penting sekali untuk memiliki pengendalian diri yang baik, tidak memaksakan diri jika terlihat tak memungkinkan situasi dan kondisinya," ujar Ustaz Budi.

Berdasarkan pengamatan Ustaz Budi, perjuangan untuk bisa menjangkau atau mencium hajar aswad rata-rata 1,5 jam. Butuh stamina dan strategi untuk memudahkan upaya menjangkau atau mencium Hajar Aswad. "Yang terpenting, jaga keselamatan diri sebagai bagian dari hal yang diperintahkan oleh agama," kata Ustaz Budi. 

Sesaat setelah kejadian itu, Ustaz Budi sempat memvideokan testimoni saya dan mengunggahnya di akun Facebook Budi Prayitno. Dengan wajah pucat, tangan dan suara yang masih bergetar, serta jilbab (yang tentunya) berantakan, saya menuturkan pengalaman tersebut. Mahabesar Allah yang memampukan hamba-Nya mengikuti sunah Rasulullah seraya menolong sesama. Lahawla walaa hawla walaa quwwata illa billahil aliyyil adzhim...Sesungguhnya tiada kekuatan dan daya melainkan dari Allah yang Mahatinggi lagi Mahamulia.

 

Wartawan Republika (@reinydwinanda)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement