Ahad 13 Aug 2017 02:50 WIB

Cegah Haji Ilegal, Pemerintah Perlu Komisi Pengawas Umrah

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Sebanyak 450 jamaah haji Indonesia yang tergabung dalam gelombang II asal Embarkasi Surabaya  SUB 44 tiba di Bandara International King Abdul Aziz, Jeddah, Sabtu (12/8) pukul 07.45 waktu Arab Saudi.
Foto: Republika/Nashih Nasrullah
Sebanyak 450 jamaah haji Indonesia yang tergabung dalam gelombang II asal Embarkasi Surabaya SUB 44 tiba di Bandara International King Abdul Aziz, Jeddah, Sabtu (12/8) pukul 07.45 waktu Arab Saudi.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Haji dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ade Marfuddin mengatakan, para peserta haji ilegal, yang tidak melalui pendaftaran Kementerian Agama (Kemenag), dapat merusak nama baik negara. Untuk mencegah adanya jamaah haji yang seperti itu, pemerintah diminta untuk membuat Komisi Pengawas Umrah.

Ade menerangkan, travel umrah itu perlu diregulasi. Jangan hanya diberikan izin tapi tidak diawasi dan dipantau. 

“Karena apa? Haji yang hanya sekali dalam satu tahun dan diikuti 210 ribu jamaah itu ada pengawas yang diangkat dengan SK Presiden. Sedangkan umrah, tujuh kali dengan 850 ribu hingga 1 juta jamaahnya tidak ada pengawasnya," kata dia kepada Republika, Sabtu (12/8).

Belum lagi, tahun depan diperkirakan jumlah peserta umrah mencapai 1,2 juta orang. Menurut dia, haji yang sudah pasti pemberangkatannya, tak memerlukan pemasaran, publikasi, promo turun harga dan lainnya diawasi. Sedangkan umrah yang waktunya lebih banyak dan perlu melakukan pemasaran, publikasi, promo-promo itu tidak diawasi.

Ade mengharapkan pemerintah juga bisa melakukan antisipasi atas adanya jamaah haji ilegal melalui biro perjalanan. Ia menyarankan, pemerintah seharusnya mewajibkan laporan keberangkatan dan kepulangan jamaah terhadap travel-travel umrah. Dari info yang ia dapatkan, banyak travel yang tidak melakukan hal itu.

"Harus jadi kewajiban lapor itu untuk proteksi tadi.  Pergi berapa orang, mana visanya, tiketnya, pulangnya berapa itu harus dilaporkan atau dicek agar tak ada lagi yang over stay itu," kata dia.

Setelah itu, pemerintah juga harus memberikan reward dan punishment kepada travel-travel yang tertib dan yang tidak tertib. Lalu, reward dan punishment itu juga perlu dikemukakan ke publik.

"Dari ratusan travel, mana yang paling tertib, taat. Tapi ada punishment juga untuk yang berangkat berapa pas pulangnya tidak sama. Itu diumumkan ke publik karena bisa menjadi pilihan untuk masyarakat," jelas Ade.

Secara kuota dan biaya dari pemerintah, Ade menjelaskan, jamaah haji itu tidak merugikan siapa-siapa. Pertanggungjawabannya kepada individu masing-masing. Tapi, dari sisi ketertiban administrasi negara, mereka menyalahi aturan negara karena tinggal di negara lain tanpa menggunakan visa.

"Itu, negara dipermalukan di situ. Jadi warga negara kita tidak baik, jadi negara yang tidak taat hukum internasional. Secara kebangsaan, itu mempermalukan negara dan bisa mencoreng hubungan diplomasi negara," tutur Ade.

Ade menerangkan haji sandal jepit atau ilegal biasanya berangkat melalui umrah. Mereka berangkat dari sebelum atau saat bulan Ramadhan. Tapi, pada saatnya pulang, mereka tidak ikut pulang atau overstay

Ade menerangkan, jamaah umrah yang overstay atau tidak ikut pulang ke Indonesia biasanya ditampung di tempat penampungan. Menurut dia, para penampungnya ini adalah orang Indonesia juga. 

Saat berada di tempat penampungan itu, mereka biasanya bekerja kepada yang menampungnya. "Bisa menyulam, bikin peci, bikin tasbih, dan sebagainya," ungkap Ade.

Para jamaah umrah ini, lanjut Ade, ketika berangkat ke Arab Saudi menggunakan visa umrah. Ketika sudah 30 hari, maka visa tersebut akan kedaluwarsa. Dengan kata lain, selama tinggal di sana, para jamaah umrah tersebut tidak memiliki visa.

Selain itu, Ade menjelaskan, setelah bulan Ramadhan usai, visa untuk umrah tidak lagi dikeluarkan. Setelah Ramadhan, visa yang dikeluarkan hanya visa haji. Karena itu, dalam melaksanakan hajinya, mereka tidak menggunakan visa yang legal.

"Selama menunggu dari umrah ke haji itu, mereka dilindungi oleh penampung-penampungnya itu. Saat musim haji, baru lah mereka keluar dari penampungan dan mengikuti kegiatan haji dengan rombongan resmi," kata dia.

Menurut Ade, untuk mengetahui yang mana jamaah haji legal dan yang mana jamaah haji ilegal itu mudah. Ketika sedang melaksanakan mabit di Mina, Makkah, Arab Saudi, bisa dilihat apakah mereka memiliki kelengkapan haji atau tidak. Pertama, bisa dilihat dari gelang haji. Kedua, tidak punya tas yang biasa digantung di leher. Kemudian, mereka juga tidak memiliki paspor resmi. "Pasti itu ketahuan. Bisa dipastikan itu jamaah yang lompat dari umrah," jelas dia.

Setelah musim haji selesai, barulah kemudian para jamaah haji sandal jepit itu menampakkan diri. Mereka akan terkena sweeping, ditangkap, dan dideportasi. Menurut Ade lagi, hal itu juga dianggap sebagai keuntungan bagi para jamaah haji sandal jepit itu.

"Kalau kemarin mereka ngumpet sampai kegiatan haji selesai, saat beres, mereka menampakkan diri. 'Tangkaplah aku karena aku ingin pulang' gitu. Daripada beli tiket, lebih murah dideportasi, akan diproses hukum mereka itu," lanjut dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement