REPUBLIKA.CO.ID, Namanya Tuti. Profesi sehari-harinya adalah tukang urut. Berangkat haji menjadi impiannya sejak puluhan tahun lalu. Setiap tahun, terlebih saat melihat orang pulang haji, keinginannya untuk menjadi dhuyufurrahman terus membuncah.
Apa yang diimpikan sejak dulu itu kini sudah dicapai. Tergabung dalam kloter 25 Embarkasi Jakarta-Pondok Gede (JKG 25), Tuti tahun ini berangkat haji. Uang hasil kerja keras menjadi tukang urut yang ditabungnya sedikit demi sedikit dalam enam tahun menjadi bekal dirinya berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima.
Ditemui tim Media Center Haji (MCH) Daker Makkah, Rabu (13/9), Tuti berbagi kisah perjuangannya bisa mendaftar haji enam tahun silam. Menurutnya, keinginannya berhaji sudah terpendam sejak dulu. Keinginan itu semakin kuat karena dukungan anaknya. Dari hasil pernikahan dengan suaminya yang sudah wafat, Tuti dikaruniai tiga anak.
Saat suaminya wafat, anak tertuanya kelas 6 SD, sedang si bungsung masih TK. Sejak itu, Tuti membesarkan anaknya sendiri, single mother, hingga sekarang berbekal keterampilan sebagai tukang urut dan berjualan.
Keahlian Tuti mengurut diturunkan dari orang tuanya. Saat berusia 9 tahun, Tuti terjatuh hingga keseleo, lalu diurut bapaknya. Dari situ, bapaknya mengatakan, kalau akan menurunkan keahlian mengurutnya pada Tuti.
Sejak ditinggal suaminya, Tuti memanfaatkan keahliannya dengan membuka praktek tukang urut bayi, anak kecil sampai orang dewasa. Selain itu, dia juga berjualan kacang yang dibungkus dan dijual di sekolah anaknya. “Anak-anak saya ajarkan hidup prihatin dan bersyukur,” ujar Tuti mengenang perjuangannya.
Menurutnya, laku prihatin sengaja diajarkan kepada anaknya sejak kecil. Maklum, hasil dari mengurut tidak menentu, apalagi dirinya tidak pernah memasang tarif, hanya seikhlasnya saja.
Perlahan, nama Tuti sebagai tukang urut semakin dikenal. Banyak pelanggang yang membutuhkan keahliannya. Kadang dalam satu hari bisa mencapai 15 orang. Informasi dari mulut ke mulut menyebar sampai ke Bukit Golf Sentul Jawa Barat. Ada salah satu pasien Tuti yang sudah di vonis dokter saraf terjepit atau penyempitan urat syaraf. Bismillah, Tuti coba memberikan terapi urut secara rutin hingga membaik.
Saat ditanya berapa yang harus dibayar, Tuti menjawab seikhlasnya. Oleh keluarga pasien, Tuti akhirnya dikasih uang Rp 300 ribu sekali urut.
Rezeki terus bertambah, namun Tuti tidak berubah, semua dijalani dengan rasa syukur dan ikhlas. Niatnya berhaji pun semakin tergambar. Sebagian hasil kerjanya ditabung untuk bersiap menjadi tamu Sang Maha Rahman. “Alhamdulillah bisa saya tabung untuk berangkat haji,” tuturnya.