Jumat 12 Jan 2018 17:23 WIB

Haul Diponegoro Ke-162: Aksara Pegon dan Cita-Cita Berhaji

Rep: hasanul rizqa/ Red: Muhammad Subarkah
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannay di tepisan sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.
Foto: KTLV
Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah da surban, ketika beristirahat bersama pasukannay di tepisan sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA --  Pada awal pekan ini, 8 Januari 2018, dihelat Haul Pangeran Diponegoro ke-162 di pelataran Masjid Riyadul Jannah, Jakarta Pusat. Acara ini diselenggarakan pihak keluarga keturunan Pangeran Diponegoro yang berdarah Makassar, Hj Andi Mariam Yusup Diponegoro. Hadir dalam kesempatan ini, antara lain, sejarawan Anhar Gonggong, pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) Lily Wahid, dan intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Ahmad Baso.

Dalam kesempatan ini, Anhar Gonggong mengungkapkan nilai kepahlawanan secara umum dapat dimaknai sebagai pengorbanan. Sebagai seorang ningrat, menurut akademisi Universitas Indonesia (UI) ini, Pangeran Diponegoro dapat hidup nyaman secara duniawi di lingkungan Keraton. Namun, jiwa sang pangeran sejak kecil dididik untuk berempati terhadap kesengsaraan rakyat. Hal ini berkat tempaan sang nenek buyut di Tegalreja, yang juga mendekatkannya dengan kalangan alim ulama. Prinsip kuat agama dan empati sosial ini, lanjut Anhar, yang menjadi penghalang bagi Belanda untuk menggempur perlawanan sang pangeran yang didukung total rakyat.

Sebenarnya, tanpa harus melawan Belanda, Diponegoro sudah hidup enak bersama keluarga besarnya. Namun, dia memilih melawan akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang kian menyengsarakan kaumnya, katanya.

Lily Wahid senada dengan Anhar Gonggong. Menurut adik Presiden RI Abdurrahman Wahid (alm.) ini, perjuangan Pangeran Diponegoro harus dilanjutkan oleh generasi Indonesia sekarang, terutama soal kedaulatan rakyat. Menurut Lily, saat ini Indonesia belum berdaulat penuh, apalagi setelah amandemen terjadi atas UUD 1945 yang asli.

"Kita harus mewaspadai konspirasi internasional yang ingin memecah belah NKRI menjadi 17 negara bagian, kita jangan terlena dan terbuai. Ini (perpecahan --Red) yang kemudian dilawan oleh para pahlawan nasional," tegas Li

Aksara Pegon dan Cita-Cita berhaji Diponegoro

Selanjutnya, Ahmad Baso menjelaskan besarnya pengaruh dunia pesantren bagi pemikiran dan perjuangan Pangeran Diponegoro. Babad Diponegoro yang ditulis dengan Pegon jelas menunjukkan hal itu. Sebab, aksara tersebut--yang sesungguhnya meminjam aksara Arab--jamak dipakai kalangan santri sejak abad silam. Tokoh muda NU ini lantas meminta generasi muda agar kembali mempelajari sejarah Pangeran Diponegoro tetapi dengan menghindari terhadap sudut pandang orientalis yang cenderung mengabaikan peran Islam.

Menurut Ahmad Baso, sejak awal Pangeran Diponegoro menegaskan wawasan Nusantara. Ini tampak dari penggalan Babad Diponegoro tentang makna Ratu ing Jawi yang, jelas Ahmad Baso, berarti kedaulatan kami. Kata Jawi tidak sekadar bermakna pulau atau bangsa Jawa dalam aksara Pegon, karena ini menandaskan sedikitnya persatuan umat Islam di Nusantara. Sebagai informasi, di Haramain, di masa hidupnya sang pangeran, kaum haji asal Indonesia sudah disebut sebagai al-Jawi.

Ahmad Baso melanjutkan, istilah Ratu ing Jawi pun dipinjam Pangeran Diponegoro dari konsep kedaulatan suku bangsa Bugis. Dalam bahasa Bugis, konsep kedaulatan ditunjukkan dengan istilah Ratu na Tausibuttah. Ketika Perang Diponegoro berlangsung, kata Baso, pasukan Diponegoro mendapat dukungan logistik dari suku bangsa maritim tersebut yang berlabuh di Pantai Selatan Jawa.

Terakhir, Ahmad Baso menilai, hikmah dari Perang Diponegoro ialah visi yang jauh dan original tentang pemerintahan yang demokratis di Nusantara. Seperti diketahui, dalam peperangan tersebut, Pangeran Diponegoro juga menyelenggarakan pemerintahan di daerah-daerah yang dikuasainya. Atas saran Kiai Mojo, maka tercetuslah konsep pembagian kekuasaan, yang mirip dengan konsep demokrasi modern kini. Empat cabang itu adalah: (1) wali, yang berfungsi layaknya legislatif; (2) ratu, yakni pelaksana pemerintahan atau eksekutif; (3) pandita atau ulama/qadhi, yang berfungsi yudikatif dalam pemahaman modern kini; dan (4) mu`minin, yakni elemen masyarakat sipil madani.

"Inilah imaji tentang Indonesia. Ini dapat menjadi masukan untuk Indonesia masa depan (setelah era Diponegoro --Red)," tukas Ahmad Baso.

Sementara itu, Amar Ahmad, putra dari Hj Andi Mariam Yusup Diponegoro, berpandangan, tantangan kini bangi bangsa Indonesia adalah persatuan. Untuk itu, generasi muda diharapkan tidak melupakan jasa dan semangat para pahlawan.

Kita mendorong agar generasi muda saat ini tidak mudah melupakan semangat para pahlawan nasional yang telah berjasa besar dalam merebut kemerdekaan," ujar keturunan kelima Pangeran Diponegoro itu dari silsilah Raden Abdul Gani. Tokoh ini merupakan putra sang pangeran dengan Raden Ayu Ratnaningsih, yang juga wafat sebagai tahanan Belanda di Makassar, Sulawesi Selatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement