IHRAM.CO.ID, Banyak tulisan tentang Islam tradisional di Indonesia yang telah mengulas karya C Snouck Hurgronje. Namun,anehnya Hurgroje tidak dilibatkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1880-an untuk mendokumentasikan beberapa sumber Islam yang cukup akomodatif. Tapi bisa dilhat adanya pemahaman bahwa proses Muslim Hindia Belanda secara aktif terlibat dengan apa yang dianggap sebagai sikap yang kurang dapat diterima sebagau kelaziman di Kekaisaran Ottoman.
Guna memahami hal ini, maka Hurgronje dikirim ke Jeddah pada tahun 1884 untuk mempelajari haji dan memberikan penjelasan tentang cara kerja tarekat yang telah banyak dianut orang Indonesia, Sebab, Belanda membayangkan karena itu adalah persaudaraan dan agen mereka yang dibayangkan sebagai 'al-Qa'ida' pada hari ini.
Snouck Hurgronje dalam tulisannya dia menjelaskan ancaman yang dia percaya bahwa mereka berpose di negara kolonial karena institusi ketaatan buta yang dijanjikan dalam banyak ordo sufi. Dan ini untuk pertama kali dia anggap sebagai pertumbuhan parasit yang tengah menindas tubuh masyarkat Muslim yang lebih besar
Maka Snouck Hurgronje melangkah lebih jauh dari Jeddah, dan setelah masuk Islam dan mengadopsi nama Abd al-Ghaffar. Dia lalu menghabiskan beberapa bulan di Makkah sebagai mahasiswa fiqh dan tafsir. Di sana dia berada di bawah otoritas sayap mufti terkemuka kota, Ahmad b. Zayni Dahlan (1816-86), dan menjalin persahabatan dengan sarjana Jawa Nawawi Banten (1813-97). Keduanya memang pernah bertemu melalui kontak di Jawa Barat dan melalui surat-surat dari ilmuwan Arab yang dihormati, seperti Muhammad Salih al -Zawawi dan anaknya Abdallah.
Di Makkah Hurgronje juga bisa melihat secara langsung bagaimana pengajaran dilakukan di dalam dan sekitar Kawasan tanah suci Makkah, dan gagasan apa yang dibahas di pendopo madrasah ulama itu? Selain itu mencari tahu siapa saja tuan-tuan yang terkait dengan aliran konstan sufi suji saat mereka memanggil melaui pondok-pondok mereka yang letaknya berada di dekatnya di daerah Jabal Abi Qubays?
****
Nah, kemudian melalui pengalamannya juga, Snouck Hurgronje juga dapat melihat bagaimana kerumunan siswa yang berasal dari Hindia (dan memang dari seluruh dunia Muslim) memanfaatkan kedua manuskrip keilmuan yang ada tersebut. Ini karena saat itu sudah semakin banyak teks yang dicetak di Istanbul, Kairo, India dan bahkan Kota Suci itu sendiri, di mana pers baru saja di buka dengan substitusi Melayu sendiri dan seorang manajer khusus, yakni yang bernama Ahmad al-Fatani.
Meskipun banyak karya cetak Melayu kuno, seperti yang ditayangkan di Singapura pada tahun 1860-an dan 1870-an, dan masih dicetak di Bombay dan Istanbul setelahnya, telah meniru bentuk manuskrip dengan menggunakan litografi. Kala itu dengan margin lebar dan ruang interlinear yang semakin banyak diproduksi di Kairo dan Mekah dengan tipografi, mengakui ruang yang jauh lebih sedikit di halaman.
Sebuah halaman dari teks yang dikenal di Jawa sebagai "Sharh al-Sanusi", yang dikembangkan oleh penulis di Umm al-barahin
Jejak litograf Bombay dari berbagai sufi sufi yang populer (termasuk Sharaf al-anam dan Mawlid al-Barzanji) yang ditujukan untuk pasar Asia Tenggara.
Sarah tentang Insan al-kamil (Mustafa al-Babi al-Halabi wa Ikhwanahu, 1916). Versi khusus ini berasal dari pers Muhammadyah Ali Baha pada tahun 1906, namun karya serupa telah beredar sejak tahun 1860-an.
Ketepatan dan keterbatasan praktis yang meningkat itulah yang harus memainkan peran dalam munculnya apa yang disebut oleh Snouck Hurgronje sebagai metode beasiswa "Makkah" atau "Arab" yang berpengaruh di antara orang Asia Tenggara di Makkah. Karena tampaknya banyak penutur asli bahasa Arab, seperti orang Melayu, Sunda, Jawa dan Madura, telah melakukannya secara jauh dengan metode pemahaman fragmen awal buku fiqh atau akidah dengan cara menghapalkannya dalam beberapa bahasa medial, seringkali Bahasa Melayu atau bahasa Jawa dari instruktur dengan menekankan pemahaman langsungg melalui bahasa Arab.
Dan ini jelas melalui satu pendekatan khusus dari metode ini. Dan orang yang pertama kali melakukannya adalah Nawawi dari Banten, yang hanya memiliki sedikit waktu untuk bahasa Melayu atau Jawa sebagai bahasa ilmiah dan yang memang menulis lusinan komentar untuk berbagai teks agamanya di Asia Tenggara.
Jadi jelas seperti yang dikatakan Ian Proudfoot (1993) atau Muhsin Mahdi (1995) di tempat lain, bahwa ilmuwan seperti Nawawi lebih suka menulis buku yang berkaitan dengan apa yang Snouck Hurgronje sebagai tasawuf Ghazalia yang sadar dan ilmiah atau intelektual. Alhasil, tarekat sufi menjadi merupakan pasar yang siap bagi bahan cetakan semacam itu, seperti mengambil karya-karya dasar fiqh, kehidupan orang-orang kudus, serta pengucapan guru mereka di Makah.
***
Memang beberapa di antaranya adalah bersifat sangat penuh polemik. Apalagi ada memang dua syaikh yang sangat kuat yang mengawasi komunitas cetak untuk konsumen global sebagai master Naqshbandi yang bersainganan dengan Sulayman Afandi dan Khalil Pasha, yang terlibat dalam perang pamflet pada awal 1880-an. Melalui koneksi superiornya dengan hirarki Ottoman, Khalil Pasha mendapat dukungan cetak dari Ahmad Dahlan, yang mengeluarkan perintah untuk pembakaran buku Souck Hurgronje tersebut,
Buku Sulayman Afandi yang terbit pada pada tahun 1883 misalnya. Buku ini mungkin telah menginterpretasi lain tentang Naqshbandiyya berkembang di Hindia Belanda. Buku ini bukan berguna untuk mengukur religiusitas masyarakat tertentu dengan membandingkan praktik sosial dengan karya yurisprudensi. Buku ini malah berpendapat sebaliknya bahwa ahli hukum harus bekerja sama dengan "ahli etnografi dan filologia" untuk membangun gambaran bagaimana Islam hidup dalam kehidupan sehari-hari di Hindia Belanda. Untuk itulah setelah kembali dari Makkah, Snouck Hurgronje mengumpulkan dua jilid buku di Jerman mengenai sejarah kota dan kehidupan kesehariannya yang diterbitkan pada tahun 1888-89. Untuk sementara, dia mengisyaratkan bila temuannya sebagai ancaman potensial yang diwujudkan oleh otoritas shalat Syekh Taruna tertentu yang terkait dengan Makkah di mana akhirnya ketika tinggal di Makkah nanti akan menghasilkan ketenaran baginya untuk tidak meremehkannya. Dan dia berhasil mengumpulkan manuskrip asli. Serta untuk memanfaatkan layanan penyalin dan informan yang tertanam dalam sistem kolonial.
Pada cendekiawan Asia Tenggara yang disebutkan oleh Snouck Hurgronje berarti jelas bahwa informasi dan bahan terperinci yang dikumpulkannya, termasuk manuskrip, telah terlalu disukai oleh para syekh berdasarkan hubungannya dengan masyarakat di Makkah dan keyakinan bahwa dia masih termanifestasi di dalamnya. Selain ini juga, kita dapat melihat bahwa catatan tesis ini merupakan hasil pertunangan dengan perantara ahli yang menemaninya dalam perjalanannya.
Prinsip di antara ini adalah salah satu ilmuwan yang dikenal di Makkah pada saat kunjungannya di sana, Hasan Mustafa dari Garut, yang Snouk Hurgronje jelaskan secara panjang lebar dalam sebuah tulisan yang ditulis pada tanggal 18 Juli tahu 1891.
Sumber http://journals.openedition.org: Thw News Turn to Mecca.