Jumat 26 Jan 2018 16:32 WIB

Pemerintah Harus Realistis Animo ke Timur Tengah

Diperkirakan sekitar 5.000-10.000 pekerja migran setiap bulannya ke timur tengah.

Rep: pekerja Arab/ Red: Muhammad Subarkah
Pekerja Indonesia menjual makanan khas Indonesia, seperti nasi kuning, nasi goreng, nasi campur dan soto ayam usai subuh di taman depan Masjid Bimbas, Sektor 5 Syisyah, Makkah, Arab Saudi, Senin (28/8).
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Pekerja Indonesia menjual makanan khas Indonesia, seperti nasi kuning, nasi goreng, nasi campur dan soto ayam usai subuh di taman depan Masjid Bimbas, Sektor 5 Syisyah, Makkah, Arab Saudi, Senin (28/8).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus realistis dengan meningkatnya animo kerja ke wilayah timur tengah yang tak terbendung.

Ketua Indonesian Labour Suppliers Association (ILSA) M Ali Ridho mengatakan pemerintah tidak bisa membendung minat kerja ke Timur Tengah. Apalagi karena semua dilakukan secara legal.

"Pemerintah negara tujuan memberi ijin kerja kepada tenaga kerja kita," kata Ali.

Karena itu dia mengatakan para pekerja migran itu bekerja secara legal karena punya izin kerja dari negara tujuan penempatan," katanya Kamis, (25/1).

Praktik itu berlangsung sejak pemerintah Indonesia melakukan moratorium (penghentian sementara) penempatan ke Timur Tengah mulai 2012 hingga kini. Ali memperkirakan sekitar 5.000-10.000 pekerja migran setiap bulannya ke timur tengah.

Sebelumnya BNP2TKI memperkirakan sekitar 30 ribu pekerja migran bekerja secara ilegal ke luar negeri setiap tahun. Kepala BNP2TKI Nusron Wahid mengutip data imigrasi, sekitar 2.600 pekerja migran bekerja ke luar negeri secara ilegal per bulan Ali menyatakan mereka bukan bekerja secara ilegal. "Kami mengatakannya non prosedural," ujarnya.

Alasannya, mereka keluar negeri dengan paspor Indonesia, mendapat visa kerja dari negara tujuan penempatan di timur tengah dan berangkat melalui bandara-bandara Indonesia. "Dimananya yang ilegal?" kata Ali.

Menimbang kondisi demikian, dia mengajak semua pihak terkait untuk bijak melihat situasi ini. Bekerja adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi peraturan pemerintah, sama seperti halnya setiap warga negara berhak mendapatkan KTP atau paspor.

Di sisi lain, peluang kerja di dalam negeri juga terbatas dan angka pengangguran terus meningkat.

BPS mencatat sebanyak 128,06 juta penduduk Indonesia adalah angkatan kerja. Jumlahnya bertambah 2,62 juta orang dari Agustus 2016. Dalam setahun terakhir, pengangguran bertambah 10 ribu orang.

Ali juga meminta pemerintah memperhatikan isu sensitif atas pelarangan bekerja ke timur tengah sementara penempatan ke Asia Pasific dibuka lebar. "Minat bekerja ke timur tengah tidak pernah padam karena masih kuatnya anggapan bahwa bekerja ke Saudi, misalnya membuka peluang untuk umrah, bahkan haji," kata Ali.

Di sisi lain, sebagian pendapat mengkhawatirkan terjadinya pendangkalan akidah jika bekerja di Singapura, Hong Kong atau Taiwan karena sebagian pekerja migran tak leluasa. Bahkan pada sejumlah kasus tidak diizinkan oleh majikan untuk shalat.

Ketika ditanya tentang perlindungan untuk pekerja migran di Saudi, Ali mengatakan negara itu sudah melakukan perubahan mendasar. Seperti diterbitkannya UU Ketenagakerjaan yang melindungi buruh migran sebagaimana yang disyarat ILO, penjaminan yang dilakukan oleh syarikah (perusahaan) dan bukan waqalah (perorangan), hak berkomunikasi, libur satu hari atau diganti dengan insentif lembur dan sebagainya.

"Saudi, misalnya, banyak berubah. Bahkan, perempuan diizinkan menyetir mobil," ujar Ali. Kondisi yang sama juga berlaku pada negara teluk lainnya.

Kuncinya sekarang, kata Ali, ada pada Indonesia, apakah akan membiarkan pekerja migran bekerja tanpa fasilitas dan pengawasan pemerintah atau mengawal dan melindungi mereka melalui perjanjian bilateral yang mengikat.

Pengamat pekerja migran Yunus Yamani mengingatkan, pemerintah harus bijak melihat fenomena derasnya anak bangsa bekerja ke timur tengah. "Jika tidak mampu membendung, maka harus melindungi. Jika tak mampu memberi kerja maka fasilitasi mereka untuk bisa bekerja, di luar negeri sekalipun," ujarnya.

Bekerja di luar negeri di era global adalah fenomena biasa. "Yang tak biasa, jika kita membiarkan mereka berjuang sendiri, tetapi ketika berhasil dikatakan sebagai keberhasilan pemerintah lalu dinobat sebagai Pahlawan Devisa," kata Yunus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement