Selasa 13 Mar 2018 19:22 WIB

BPIH Hanya Naik Rp 345 Ribu, Syamsul: Ini Jadi Problem Besar

Pemerintah dan DPR tidak seharusnya mencari pencitraan dalam menetapkan biaya haji .

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Komisioner KPHI Syamsul Maarif
Foto: dok. KPHI.go.id
Komisioner KPHI Syamsul Maarif

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah dan Komisi VIII DPR telah resmi menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2018 naik sekitar Rp 345 ribu, sehinga biaya haji menjadi Rp 35,23 juta per jamaah. Namun, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) menilai, dengan kenaikan yang hanya 0,99 persen itu, masih belum realistis dan justru akan menimbulkan problem yang besar.

Komisioner KPHI Syamsul Maarif mengatakan, sejak awal, sebetulnya, pihaknya sudah memanggil BPKH dan Direktur Kemenag. Upaya ini, untuk mencari titik temu bahwa BPIH 2018 harus diputuskan secara realistis dengan menaikkan menjadi Rp 40 juta per jamaah.

"Jadi, kalau ini dipaksakan tetap hanya sekiar Rp 35 juta, itu akan menjadi problem besar ke depan. Pasalnya, pemerintah akan kebingungan untuk menomboki," ujar Syamsul saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/3).

Berdasarkan keputusan pemerintah dan DPR, biaya indirect cost yang dibutuhkan untuk pelaksanaan haji 2018 tahun ini sebesar Rp 6,1 triliun. Namun, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) hanya menyediakan biaya indirect cost dari dana optimalisasi haji hanya Rp 5 triliun. Akibatnya,  ada kekurangan sekitar Rp 1,1 triliun untuk menutupi kebutuhan tersebut.

Karena itu, menurut Syamsul, seharusnya pemerintah tidak mengambil risiko hanya dengan menaikkan BPIH sebesar Rp 345 ribu. Menurut dia, pemerintah dan DPR tidak seharusnya mencari pencitraan dalam menetapkan biaya haji yang dinilainya masih sangat murah tersebut.

Syamsul merasa yakin, jika pemerintah berani menaikkan biaya haji 2018 menjadi Rp 40 juta per jamaah, maka masyarakat juga akan mengerti. Karena, pada kenyataannya, riil biaya haji tahun ini sebenarnya sekitar Rp 60 juta per jamaah. Sedangkan dana optimalisasi sendiri hanya ada Rp 5 triliun.

"Jadi dijelaskan saja, bahwa sesungguhnya itu adanya, rakyat menerima. Tapi kalau terus menerus ditutupi dengan uang optimalisasi itu nanti akan semakin parah," ucap Syamsul.

Sekali lagi, Syamsul sebagai perwakilan dari KPHI berpesan kepada pemerintah bahwa harus jujur kepada rakyatnya terkait dengan riil biaya haji yang ada saat ini. Karena, menurut dia, panita penyelenggara haji daerah (PPHD) yang dibiayai pemerintah daerah saja membutuhkan biaya sebesar Rp 61 juta.

"Apa artinya ada BPKH kalau masih seperti sistem seperti dulu? Saya meminta kepada BPKH. BPKH pernah saya panggil, Pak Anggito bahwa ini harus realistis, Antum tidak boleh lagi nanti bahwa dana optimalisasi itu dihabiskan untuk yang mau berangkat," kata Syamsul.

Selain itu, pihaknya juga sudah mengingatkan BPKH atau pemerintah agar tidak memaksakan penggunaan dana optimalisasi haji. Namun, ternyata pemerintah tidak memperdulikan, sehingga saat ini pemerintah menjadi kebingungan.

Syamsul menambahkan, untuk menutup kekurangan dana yang dibutuhkan dari dana optimalisasi tersebut juga tidak bisa ditutup dengan APBN. Menurut dia, tidak mungkin pemerintah mau mengambil dana dari APBN dalam setiap tahunnya, sehingga tidak ada cara lain selain pemerintah hanya bisa meningkatkan biaya haji sebesar Rp 40 juta.

"Jadi pemerintah harus jujur tentang riil pembiayaan ibadah haji itu. Kalau Rp 66 juta itu tinggi itu. Tidak boleh pemerintah dan DPR itu pencitraan lagi," tandas Syamsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement