Kamis 03 May 2018 21:21 WIB

Secara Fikih Istithaah Kesehatan Sudah Tuntas

Pemberitahuan penundaan ke jamaah yang tidak memiliki istithaah jangan mendadak.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Petugas medis mengevakuasi dua jamaah sakit di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daker Madinah ke Makkah, Rabu sore (16/8).
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Petugas medis mengevakuasi dua jamaah sakit di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daker Madinah ke Makkah, Rabu sore (16/8).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Mudzakarah perhajian Indonesia yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umrah, salah satunya membahas hukum Islam tentang istithaah kesehatan terhadap larangan jamaah menunaikan ibadah haji. Artinya, orang tersebut harus sehat untuk menjalankan ibadah haji. Namun secara fikih, istithaah kesehatan sudah tuntas. 

 

Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya Gusrizal Gazahar menjadi narasumber di mudzakarah, seluruh mazhab mengatakan orang yang menunaikan ibadah haji harus mampu fisiknya. "Masalah kesehatan, ulama sepakat bahwa badan jamah yang akan melaksanakan haji itu harus mampu menjalankan ibadah yang harus dia lakukan," kata Gusrizal kepada Republika,co,id, di Hotel Redtop, Kamis (3/5).

 

Dia mencontohkan, di badan jamaah yang akan melaksanakan ibadah haji, ada yang menghalangi seperti sakit atau kondisi tubuh yang lemah. Dalam keadaan seperti itu, maka istithaah orang tersebut hilang.

 

Tapi, kata dia, hal itu ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, istithaah bisa hilang sementara karena sakit yang diderita calon jamaah haji bisa sembuh. Kedua, istithaah bisa hilang selamanya karena sakit kronis yang secara medis tidak bisa disembuhkan.

 

Maka, perlakuan terhadap jamaah yang kehilangan istithaah sementara dan selamanya harus berbeda. Kalau hilang istithaah hanya sementara, maka yang dilakukan adalah penundaan keberangkatan sampai kemampuan orang tersebut pulih kembali.

 

"Tapi kalau istithaah hilang secara total, disebabkan penyakit kronis yang tidak mungkin sembuh secara medis, maka boleh mewakilkan ibadahnya kepada orang lain, artinya dibadalkan, niyabah namanya," ujarnya.

 

Dia menegaskan, hal ini dari sisi kajian fikih sudah tuntas dan tidak ada perbedaan pendapat lagi. Sekarang yang menjadi persoalan adalah sikap dari penyelenggara haji. Sebenarnya, kata dia, dulu sudah ada mudzakarah yang membahas tentang istithaah kesehatan.

 

Gusrizal juga mengingatkan, pemberitahuan penundaan atau pembatalan kepada jamaah yang tidak memiliki istithaah jangan mendadak. Artinya, harus ada pemberitahuan lebih awal supaya jamaah tidak kaget.

 

Menurutnya, terkait fatwa istithaah kesehatan seharusnya disampaikan ulama kepada calon jamaah haji, bukan disampaikan oleh tenaga medis. Tenaga medis memberi tahu kepada ulama, kemudian ulama menyampaikan ke jamaah yang tidak memiliki istithaah dari aspek hukum Islam dan medis.

 

"Tentu juga perlu diagnosa yang jelas, bisa jadi secara fisik dia (calon jamah haji) mampu melakukan (ibadah haji), tapi dia mengidap penyakit menular yang menimbulkan mudharat ke orang lain (penyakit menular)," katanya.

 

Contoh lainnya, apabila ada seseorang yang memiliki kebutuhan khusus dari sisi medis. Orang tersebut tidak memiliki teman atau saudara yang bertanggung jawab untuk membantunya menjalankan ibadah. Sementara orang tersebut tidak mampu menjalankan ibadah haji sendiri, maka orang tersebut tidak bisa beralasan ada petugas haji yang akan menjaganya. Sebab petugas haji bukan hanya milik sendiri.

 

Gusrizal menegaskan, maka dalam menentukan penundaan atau pembatalan harus dilakukan dengan dua timbangan yang benar. Pertama timbangan medis. Kedua timbangan syari secara fikih. "Dari sisi fikih (istithaah kesehatan) tidak ada masalah, tinggal bagaimana dari teknis untuk menerapkannya dan praktiknya di lapangan," tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement