Kamis 26 Jul 2018 13:55 WIB

Kisah Comite Kesengsaraan Moekimin Indonesia di Makkah

Ketika pecah Perang Dunia II banyak jamaah haji yang tak bisa pulang ke tanah air.

Jamaah haji saat masih menumpang kapal laut.
Foto: troppen museum
Jamaah haji saat masih menumpang kapal laut.

Oleh: Lukman Hakiem, mantan staf M Natsir, mantan staf Ahli Wapres Hamzah Haz,  dan Mantan Anggota DPR

Hasrat kaum Muslimin Indonesia untuk menunaikan ibadah haji, luar biasa kuat. Pas-pasan pun ongkos yang mereka miliki, atau agak kurang pun bekal yang ditinggalkan untuk keluarga di Tanah Air,  tidak jadi soal.

Mereka yang kesehatannya tidak prima pun,  memaksakan diri pergi haji. Padahal ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang yang mampu secara material dan spiritual.

Ketika pecah Perang Dunia II,  kaum Muslimin Indonesia bagai tidak peduli. Mereka tetap berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah. Akibatnya, jamaah haji Indonesia di masa sekitar PD II itu bisa berangkat, tetapi tidak bisa pulang. Maka terlantarlah jamaah haji Indonesia dan para pemukim di Mekah. Nasib jamaah haji Indonesia yang terlantar di Mekah,  menjadi perbincangan di Tanah Air.

Pertemuan Masyarakat Banjarmasin

Pada 7 Juli 1940, dalam sebuah perjamuan khitanan anak Toean Abdoelsamad, Beheerder PTT, di Gondangdia, Jakarta, beberapa tokoh masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dirundingkanlah bagaimana cara menolong jamaah haji Indonesia yang terlantar itu.

"Biarpun tidak dapat memberikan pertolongan untuk melepaskan mereka daripada azab dan sengsara, akan tetapi mudah-mudahan dapat meringankan penderitaan mereka itu," ujar salah seorang yang hadir pada perjamuan.

Dari obrolan di walimatulkhitan itu dicapai kata sepakat untuk membentuk Comite Kesengsaraan Moekimin Indonesia di Mekah (Comite KMIM) dengan susunan personalia sebagai berikut: Mr.  Tadjoeddin Noer (Beschermheer), Abdoelsamad (Ketua), H. A. Taminsaid (Bendahari), G. M. Ch. Kasoema (Penulis I), Abdoessalam (Penulis II),  dan para anggota (Comissarissen) Fermantsjah, H. Abdoesjoekoer, A. Adjoes, Ma'soem, H. A. Alisaad, Anang Salman,  dan Zainoeddin Zain.

Dengan sigap,  Comite KMIM segera bekerja. Modal pertama berupa uang sebesar 15 gulden untuk memulai pekerjaan, diperoleh dari urunan sesama pengurus Comite.

Pada 8 Juli 1940 ditulis surat kepada Adviseur voor Inlander Zaken guna memberitahukan keberadaan Comite dan mengharapkan bantuan kantor tersebut bagi kelancaran tugas Comite.

Dua hari kemudian,  keberadaan Comite KMIM disiarkan oleh koran Soeara Kalimantan. Ternyata sambutan hangat terhadap keberadaan Comite KMIM datang dari mana-mana.

                                 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement