IHRAM.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul dari Makkah, Arab Saudi
MAKKAH -- “Indonesia? Bagus...Bagus,” kata seorang pria Arab kepada saya di sebuah restoran cepat saji. Ketika itu saya dan teman-teman hendak mengusir lapar di sore hari.
Saya masuk dalam antrean pemesanan. Dan tiba-tiba saja pria Arab berbaju putih itu menyapa dengan akrab.
Dia melirik lambang merah putih di lengan kanan saya. Pembicaraan mengalir begitu saja. Saya bertanya kepadanya, bagaimana bisa dia berbicara bahasa Indonesia? “Ibu saya orang Surabaya,” jawab pria itu. Oh, pantas.
Saya menyebutkan beberapa nama daerah Surabaya, seperti Wonokromo, Taman Bungkul, dan nama pusat perbelanjaan besar di sana. Pria itu mengetahuinya. Beberapa kali dia mengunjungi kota pahlawan untuk berwisata.
Karyawan restoran ayam goreng cepat saji pun mencoba ikut dalam pembicaraan kami. “Saya mau ke Indonesia,” kata kasir berwajah India itu. Dia ingin mengunjungi beberapa kota: Lombok, Jakarta, dan Bogor.
Anak-anak kecil bersama keluarga mereka bermain di pelataran Masjid al-Haram. Masjid al-Haram dipadati warga Arab Saudi untuk berumrah dan berziarah jelang pelaksanaan haji. Pemerintah Saudi melarang warga Saudi berumrah jelang puncak haji.
Kota yang terakhir ini sering menjadi destinasi masyarakat Timur Tengah. Hawa sejuk dan keindahan alam serba hijau memacu hasrat mereka untuk mendatangi kota hujan. Tak heran bila kawasan Puncak Bogor menjual kuliner dan busana khas Arab.
Tak lama berbicara, ayam goreng pesanan warga Riyadh yang pernah ke Surabaya itu, sudah siap dibawa pulang. Lima menit kemudian pesanan saya terkemas. Kami berpisah dengan sama-sama bersalaman.
Ada lagi pengalaman lain. Saya dan teman-teman duduk di jembatan dekat Menara Zamzam. Di sana kami asyik membicarakan segala hal tentang kota Makkah.
Tiba-tiba datang seorang ibu warga Pakistan. “Indonesia? Asyik berkumpul ya,” kata wanita paruh baya itu dengan bahasa Indonesia terbata-bata.
Dia pernah tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur untuk bekerja. Setelah itu menikah dengan pria asli Pakistan. Anak lelakinya sempat bertanya, siapa kami. Lalu ibu itu menjelaskan kami sebagai orang Indonesia.
Suaminya yang sudah berambut putih menyebut beberapa kuliner khas Nusantara: satai, bakso, lontong, soto. Mirip Barrack Obama berbicara di Istana Negara mengenang kehidupannya di Indonesia.
Tak lama kami berbicara, tapi saya ingat betul ekspresi si ibu dan suaminya yang begitu senang bertatap muka dengan kami. Mereka melambaikan tangan kepada kami, tanda perpisahan.
Pedagang di sana banyak yang bisa berbahasa Indonesia. Dengan mudah lisan mereka mengucapkan kata 'murah', 'bagus', 'Indonesia', 'ayo' utnuk sekadar menarik perhatian. Mungkin juga untuk merayu orang Indonesia seperti saya untuk membeli dagangannya.
Seorang pedagang menawarkan barangan dagangannya dengan bahasa Indonesia di toko sekitar Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Satu lagi pengalaman yang saya ingat. Para pencukur rambut di sekitar al-Haram selalu mendekati ketika saya berihram. “Indonesia? Cukur? Botak?” mereka menawarkan jasa cukur rambut kepada jamaah yang hendak bertahalul.
Indonesia sungguh tidak asing di sini. Tanah Suci, tempat para nabi menyebarkan risalah ketuhanan, menjadi ladang ibadah banyak orang, tak terkecuali masyarakat Indonesia, yang dulu masih bernama Hindia Belanda, Melayu, atau Jawi.
Sejak berabad-abad lalu masyarakat Indonesia mendatangi Tanah Suci untuk berhaji. Uang tak menjadi masalah.
Asal cukup untuk ongkos ke sana, mereka akan berangkat. Tujuan utamanya adalah beribadah, mengunjungi baitullah, bertobat, mengutarakan harapan dan impian baik yang ingin dicapai, langsung di rumah Allah.
Budaya itu tak pernah berganti. Setiap musim haji, dua Tanah Suci: Makkah dan Madinah, pasti dipadati Muslim Indonesia. Jumlah mereka mencapai 221 ribu orang berdasarkan kuota haji 2018. Ini belum termasuk jamaah umrah yang tak pernah berhenti datang di luar musim haji.
Kalau sudah sampai ke Tanah Suci, mereka sudah pasti tak hanya beribadah. Tentu akan melakukan hal lain. Salah satunya adalah memborong berbagai komoditas Arab: kurma, parfum, perhiasan, dan pakaian.
Transaksi seorang jamaah haji mencapai jutaan rupiah, bahkan lebih. Jika dikalikan dengan kuota tadi, bayangkan, berapa banyak transaksi para pedagang di Tanah Suci? Sangat sering. Tak heran bila pedagang di sana begitu akrab dengan istilah Indonesia.
Tanah Suci bukan sebatas kota para nabi, tapi juga tempat bagi Muslim Indonesia beraktivitas. Di sana mereka berdoa, berbelanja, sambil mengenalkan dan mempromosikan budaya, khususnya bahasa Indonesia.