Laporan Wartawan Republika.co.id, Fitriyan Zamzami dari Jeddah
IHRAM.CO.ID, Jika jamaah haji Indonesia atau keluarga mereka hendak membuat daftar urutan negara yang layak dapat terimakasih atas pelayanan di Tanah Suci, izinkan saya mencoba membantu. Pada urutan pertama, tentu negara sendiri yang memfasilitasi keberangkatan. Pada peringkat dua, siapa lagi kalau bukan Arab Saudi yang menyambut. Peringkat ketiga ini mungkin tak banyak orang tahu: Mesir.
Sepanjang kedatangan tahun ini, tenaga-tenaga kasar dari negara tersebut yang mengangkut koper-koper jamaah masuk bus baik di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz Madinah maupun Bandara King Abdulaziz Jeddah. Mereka biasanya berkaus biru dengan rambut dipotong pendek sekali.
Dalam banyak kesempatan, selepas jamaah telah didorong ke pemondokan, saya mengambil rehat bersama mereka. Kadang membagi kopi bersama. Mereka bicara dalam aksen Arab yang sukar saya pahami. Saya hanya bisa menjawab dalam Bahasa Inggris yang mereka juga tak paham.
Satu kali waktu di Madinah, dalam pembicaraan kami yang tak kemana-mana itu, saya ingat satu kecintaan kelas pekerja di banyak bagian dunia, sepak bola. “Muhammad Salaaahhhh!!!” kata saya pada seorang pekerja di Madinah.
Seketika, matanya berbinar, senyumnya terkembang, dan ia mengeluarkan teriakan dalam nada tinggi sembari mengangkat kedua tangannya ke udara. “Muhammad Salaaahhh!!!” jawabnya.
Sejak itu, saya punya kebiasaan baru di Bandara Madinah maupun Jeddah. Saya suka mendekati pekerja maupun jamaah Mesir dan mengajak bicara. Kemudian saat mereka kebingungan, saya teriakkan kembali nama penyerang handal Timnas Mesir dan klub sepak bola Liverpool tersebut. Selalu ada kegembiraan di wajah mereka saat mendengar nama tersebut.
Satu yang sukar saya lupakan datang dari seorang jamaah Mesir lanjut usia di Bandara Jeddah. Saat saya sebutkan nama Salah, ia tetiba membuat gerakan menggocek bola, dalam pakaian ihram pula. “Muhammad Salaaah, gul...gul...gul...guuuullllll," teriaknya sembari mengangkat tangan kemenangan dan memeluk saya.
Saya jatuh iri. Ingin rasanya punya pahlawan serupa yang dikenal seantero dunia.
Permainan serupa kerap juga saya mainkan dengan jamaah negara lain yang sukar dipahami bahasanya. Pada satu ketika, jadi paham bahwa Karim Bagheri, gelandang legendaris Iran, ternyata dilafalkan Karim Baceri oleh warga negara tersebut.
Meskipun pemain tengah N’Golo Kante memenangkan Piala Dunia lalu bersama Timnas Prancis, namanya masih menimbulkan kebanggaan bagi jamaah dari Mali, tempat kedua orang tua Kante berasal.
Lain waktu, dapat sungut dari wajah seorang Turki saat saya sebut dua klub ternama dari Istanbul, Fenerbahce dan Galatasaray. Ia mengarahkan ke bawah dua jempol tangannya begitu mendengar dua klub itu. Saya beri gestur “mengapa?”. Ia menangkupkan telapak tangan kananya ke dada kiri sembari dengan bangga dan perlahan secara dramatis mengatakan “Besiktas”.
Ironisnya, bahasa sepak bola itu jadi senjata makan tuan saat menghadapi saudara serumpun dari Malaysia. Saya menemui seorang petugas haji Malaysia yang masih geram betul pemain timnas U-19 mereka dilempari oleh penonton selepas mengalahkan Garuda Muda melalui adu penalti di Sidoarjo. “Kami tak pernah melempari pemain kalian setiap kalah badminton,” kata Pak Cik satu itu.
Saya serba salah menjawabnya. Garuda di dada saya agak keberatan dengan perbandingan tersebut. Siapa pula pernah marah karena kalah di arena tepok bulu?
Bahasa sepak bola juga tak berlaku menghadapi jamaah dari Asia Selatan. Mereka jauh lebih gemar menyaksikan kriket, olah raga yang saya tak pernah mengerti betul aturan permainannya. Para pekerja dari wilayah itu mudah ditemukan sedang berlatih kriket di tanah lapang di Madinah.
Satu kali waktu, saya mencoba-coba menyebut nama Imran Khan, pemain legendaris dari Pakistan kepada seorang jamaah dari negara tersebut. Ia jadi tak nyaman. Saya duga, ia ragu apakah saya menyinggung Imran Khan muda sang bintang kriket atau Imran Khan saat ini yang sudah beralih jadi politikus dan berlaga dalam pemilihan presiden Pakistan.