Oleh: Fitriyan Zamzam, jurnalis republika
Kami bermain-main sedikit di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, pada sore hari Selasa (14/8) kemarin. Saat itu, sejumlah petugas kesehatan perempuan dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi tengah berupaya menginformasikan pada jamaah soal imbauan-imbauan terkait kesehatan mereka di Tanah Suci.
Dengan seragam kemeja panjang putih perawat serta celana jins, mereka masing-masing membawa poster besar bergambar yang menyimbolkan rerupa imbauan terkait bahayanya cuaca panas di Tanah Suci tahun ini. ia juga bergambarkan imbauan-imbauan agar jamaah menjaga ksesehatan.
Perempuan-perempuan muda dengan hidung mancung dan bulu mata lentik tersebut tentu mudah saja mencuri perhatian jamaah. Bagaimanapun, infotmasi yang keluar dari mulut mereka agaknya percuma saja karena dalam Bahasa Inggris.
Jamaah yang mendengar, saat itu datang dari Jombang, Jawa Timur, kebanyakan hanya melongo mendengar kata-kata macam “//please drink water oftenly”//, atau //“please stay out of the heat”//. Kebingungan melihat reaksi jamaah, para petugas kesehatan Saudi itu meminta bantuan diajari Bahasa Indonesia.
Kami, para petugas Indonesia punya ide lain. Bagaimana kalau mereka bicara bahasa Jawa saja seturut kampung halaman jamaah. Alhasil, setelah susah payah dituntun, keluar itu kata-kata janggal yang mereka teriakkan kencang-kencang. “Mboten pareng marokok, nggih!”. “Banyune diombe sing akeh!”. ”Ojo panas-panasan!”.
Jamaah yang semula kebingungan jadi tertawa senang. Sebagian nampak bertepuk tangan. Dan senyuman jamaah kemudian menulari para petugas Saudi yang ikut kegirangan dapat sambutan sebegitu hangat. Ketagihan menengok jamaah yang kesenangan, mereka meminta diajari lebih.
“Bagaimana menyebutkan ‘Anda cantik sekali?’,” tanya salah satunya dalam Bahasa Inggris. “Ibune ayu tenan,”ujarnya kepada jamaah selepas diajari. //“Mbak’e yo biutiful banget,” kata salah seorang jamaah perempuan menjawab pujian itu. Pipi sang petugas nampak merona mendengar balasan itu. ”Matur nuwun…” kata dia terbata-bata.
Adalah hal yang menakjubkan, bagaimana bahasa yang sekutip itu bisa meredakan sejenak kelelahan dan kerisauan. Sekutip bahasa ibu, diucapkan warga negara yang terletak begitu jauh dari kampung halaman, ternyata sebuah ramuan yang manjur juga meredakan ketegangan jamaah.
Hingga sekarang, belum ada ilmuwan yang bisa memastikan secara saintifik bagaimana umat manusia mula-mula berbicara dan kemudian mengembangkan rerupa bahasa. Ada yang berpandangan ia kemampuan yang diperoleh secara gradual seiring berjalannya sejarah kemanusiaan, lainnya beranggapan ia mesti datang seketika sepaket lengkap. Yang jelas, dalam Alquran, Allah Subhanahuwata’ala mengisyaratkan bahwa kemampuan berbahasa dan menamai bebendaan adalah salah satu yang membuat Adam ciptaan yang demikian istimewa.
Ia pada akhirnya bukan sekadar alat agar saling mengerti dan berkomunikasi. Ia menjadi akar yang mengikat masing-masing kita dengan kampung halaman.
Dalam hajatan yang mengumpulkan berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia seperti ibadah haji, ia bisa jadi pembeda yang kentara sekali. Namun dalam kesempatan tertentu seperti di Bandara Jeddah sore itu, ia juga membuat sadar bahwa terlepas dari yang biasa lidah kita ucapkan, masing-masing orang sedianya tak sedemikian berbeda.
Kita orang bisa menertawakan permainan yang sama, tersipu dengan pujian yang serupa, dan kerap kali tersinggung oleh hal-hal yang tak berbeda.
Dalam hal ini, barangkali ibadah haji bukan sekadar persoalan mendekatkan diri masing-masing dengan Sang Maha Pencipta. Ia juga perihal mendekatkan masing-masing jamaah dengan warga Bumi lainnya. Ia juga soal meruntuhkan tembok-tembok prasangka dan syakwasangka terhadap kelompok manusia lainnya.