IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Malcolm X adalah seorang menteri Muslim dan aktivis hak asasi manusia Amerika Serikat. Bagi pengagumnya, dia adalah seorang pendukung yang berani untuk hak-hak asasi orang kulit hitam.
Dia adalah seorang pria yang paling lantang menyuarakan kejahatan warga kulit putih AS terhadap warga kulit hitam. Namun, para pengkritik justru menuduhnya tengah mengkhutbahkan rasialisme dan kekerasan.
Dilansir di Arab News, Senin (20/8), Malcolm disebut sebagai salah satu orang Afrika Amerika terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah. Malcolm adalah anggota Nation of Islam, sebuah gerakan politik-agama Amerika Afrika yang didirikan Wallace D Fard Muhammad pada 1930.
Organisasi tersebutmemiliki tujuan memperbaiki kondisi spiritual, mental, sosial, dan ekonomi dari orang Afrika Amerika di AS. Namun, suara kritik justru menggambarkan organisasi tersebut sebagai supremasi orang kulit hitam.
Malcolm secara resmi meninggalkan organisasi itu dan melakukan ibadah haji ke Makkah. Dia kembali ke Amerika sebagai Al-Hajj Malik El-Shabazz dan mendirikan Organisasi Kesatuan Afro-Amerika. Organisasi itu mengadvokasi identitas orang kulit hitam. Dia juga menyatakan rasialisme, bukan ras kulit putih, adalah musuh terbesar warga Afrika-Amerika.
Gerakan baru Malcolm itu memperoleh dukungan karena filsafatnya yang lebih moderat. Sehingga, menjadi semakin berpengaruh dalam gerakan hak-hak sipil, terutama di antara para pemimpin Komite Koordinasi Non-Kekerasan Pelajar. Organisasi itu didirikan setelah kepulangan Malcolm dari ibadah haji di Makkah.
“Saya tidak pernah menyaksikan keramahan yang tulus dan semangat persaudaraan yang luar biasa seperti yang dipraktrikkan oleh orang-orang dari semua warna dan ras di Tanah Suci, rumah Ibrahim, Muhammad, dan nabi lainnya yang tertulis di Kitab Suci,” tulis Malcolm X dalam suratnya dari Makkah.
“Selama 11 hari terakhir di dunia Muslim, saya makan dari piring yang sama, minum dari gelas yang sama, dan tidur di karpet yang sama, sembari berdoa kepada Tuhan yang sama dengan sesama Muslim,” tulis Malcolm.
Dalam suratnya, ia merasa bersyukur bisa merasakan pengalaman berhaji di Tanah Suci. “Belum pernah saya merasa sangat terhormat. Belum pernah saya dibuat merasa lebih rendah hati dan tidak layak.”
Ketika Malcolm pertama kali tiba di Bandara Jeddah, ia memperhatikan jamaah haji lainnya yang berasal dari Ghana, Indonesia, Jepang, dan Rusia. Dalam bukunya, ia meyakini belum pernah ada kamera yang mengabadikan momen “berwarna” tersebut, selain matanya sendiri.
Ia menggambarkan melihat Muslim dari Cina, Indonesia, dan Afghanistan yang masih mengenakan pakaian tradisional mereka Ia merasa seperti sedang membuka halaman-halaman majalah National Geographic. Pada 21 Februari 1965, satu minggu setelah rumahnya dibom, Malcolm X ditembak mati oleh anggota Nation of Islam. Tepatnya, ketika berbicara dalam rapat organisasinya di Kota New York.