Kamis 23 Aug 2018 05:03 WIB

ILC dan Terkenang Pertemuan dengan Ratna Sarumpaet di Mina

Ada perasaan sangat nyaman usai menunaikan seluruh prosesi ibadah haji.

Jamaah haji berdoa setelah melempar jumrah di Jamarat, Mina, Selasa (21/8)
Foto:
Jamaah Indonesia mulai tiba di Mina untuk melaksanakan jamarat, Selasa (21/8). Mereka akan melaksanakan jumrah aqabah selepas melaksanakan wukuf di Arafah sehari sebelumnya.

"I am happy being Islam!" Ucapan ini disampaikan aktivis perempuan, sutradara teater, dan sutradara film kenamaan Indonesia, Ratna Sarumpaet, ketika bertemu di sebuah supermarket di bilangan Sisyah, Makkah, sepekan silam. Memang terasa mengejutkan ketemu Mbak Ratna muncul di sela kerumunan para jamaah haji yang tengah sibuk berbelanja bahan makanan.

 

"Sewaktu di Mina, saya pengennya sih tenggelam di tengah lautan manusia. Coba bayangkan, lebih dari lima juta orang datang menuju satu titik dan waktu yang sama, yakni melempar jumrah, apa ini bukan teater atau pertunjukan kolosal?" kata Ratna lagi. Menjadi Islam, kata dia, memang melalui proses terus-menerus, mirip cara berlatih seorang aktor ketika hendak memainkan 'peran penting'. Tidak bisa sekali jadi seperti cetak batu bata atau genting.

 

"Nah, di sini saya malah yakin Islam bukan Arab. Ka'bah memang ada di sini, tapi Islam kan bukan hanya Ka'bah," ujar Ratna sambil tetap mengkritik keras para pihak di Indonesia yang selalu menggampangkan Arab Saudi identik dengan Islam.

 

Ia memang salah satu orang yang tertegun ketika hadir langsung dalam rangkaian prosesi puncak haji di Armina-berupa wukuf di Arafah, mabit (bermalam) di Muzdalifah, hingga melempar jumrah di Mina. Saat itu memang terasa sebuah 'gerakan' yang mahadahsyat. Gambarnya begitu cepat berpindah, mirip pergerakan sekuel demi sekuel tayangan film. Semua bergerak dalam satu tujuan mencari rida Allah SWT semata. Dan, Ratna terharu atas munculnya situasi itu.

 

Bagi banyak orang yang belum pernah berhaji memang susah membayangkan mengapa begitu banyak orang terharu sekaligus terpana pada prosesi puncak haji di Armina. Mungkin situasinya hanya dibayangkan seperti suasana menonton sepak bola atau konser musik yang dihadiri ratusan ribu orang dalam satu tempat atau stadion. Berdiam di tenda sewaktu di Arafah disamakan dengan piknik atau tamasya naik gunung. Mabit di Mina dianggap seperti berhenti makan di sebuah restoran ketika dalam perjalanan jauh. Dan, melempar jumrah dipandang sama halnya dengan main ketangkasan lempar bola di pasar malam.

 

Tapi, ternyata tidak begitu. Entah mengapa, siapa pun yang berada di tempat itu akan terguncang hatinya. Jutaan orang tiba-tiba muncul di sebuah tempat tanpa ada keinginan satu pun untuk bertemu atau mendengar pidato siapa pun. Juga tak ada satu pun hukuman badan yang langsung diterima jika mereka acuhkan segala macam tetek bengek syarat dan rukun haji.

 

Namun, sekali lagi, tidak begitu. Cobalah pergi ke kawasan Arafah, Muzdalifah, dan Mina sekarang ini. Semua terasa kontras, serbasunyi, dan sepi. Kosong. Jutaan orang telah lenyap entah ke mana. Yang terdengar hanya suara dengung keriuhan suasana yang tersimpan dalam hati.

 

Tempat itu kembali menjadi tanah tandus dan penuh batu yang tak bisa ditanami. Arena jamarat yang luas mirip Stadion Senayan di sebelah luar menjadi terminal bus, sedangkan lahan yang luas tak berpenghuni dimanfaatkan oleh sebagian warga pendatang Pakistan untuk bermain kriket. Bagi anak-anak dan remaja tanggung, sebagian areal ini dijadikan tempat bermain sepeda.

 

Namun, dalam kaitannya dengan Mina, ada satu ungkapan dari Ali Syariati tentang perenungan yang bisa dipetik ketika tinggal beberapa malam untuk melempar jumrah itu. Menjadi Islam ternyata salah satunya adalah berani melempar keluar segala 'setan' yang ada dalam diri.

 

"Mina adalah negeri keyakinan, cinta, dan tempat segala harapan serta kebutuhanmu. Ia merupakan fron dari semua kemenanganmu yang gemilang dan terhormat. Mina adalah hajimu, puncak kesempurnaanmu, cita-cita kehidupanmu. Mina adalah langkah tauhid yang pertama dan juga penyergapan setan, musuh manusia yang paling berbahaya...," tulis Syariati.

 

Menyadari hal itu, wajar bila kemudian orang seperti Ratna ini merasa bahagia menjadi Islam. Mungkin inilah yang dahulu sering pula dikemukakan Buya Hamka dalam setiap ceramah Subuhnya di RRI Jakarta sepanjang dekade 1970-an. Hamka mengistilahkan dengan hadirnya situasi 'manisnya iman'.

 

Nah, wajar kalau orang seperti Ratna Sarumpaet --termasuk juga saya -- merasa bahagia seusai menjalankan prosesi puncak haji yang berakhir di Mina itu. Apalagi, bukankah yang selama hidup dicari manusia di dunia adalah kebahagian yang sebenarnya?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement