IHRAM.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil, Wartawan Republika.co.id dari Makkah, Arab Saudi
Ungkapan seorang pembimbing manasik haji menjelang keberangkatan masih terus terbayang."Jangankan yang haram, yang makruh saja sebaiknya jangan dilakukan di Makkah," begitu katanya.
Ungkapannya itu sebagai pengingat bahwa di Kota Makkah kita harus menjaga sikap. Nah, salah satu hal makruh yang masih suka saya lakukan sebelum keberangkatan ke Tanah Suci adalah merokok.
Kenapa saya menganggap rokok itu makruh? Karena itulah yang selalu saya dengar dan yakini sejak kecil ketika guru agama di sekolah menyebutkan salah satu contoh perbuatan yang makruh dilakukan adalah merokok. Meskipun, ketika itu semua orang dewasa sangat melarang anak-anak kecil dan remaja merokok. Sehingga, itulah yang membuat saya merokok ketika dewasa.
Barulah pada 2009 saya mulai mendengar ada hukum merokok selain makruh. Hukum ini dikeluarkan oleh sejumlah lembaga dan ormas Islam di Indonesia. Misalnya, pada 2009, MUI dalam muktamar alim ulama di Padang Panjang, mengeluarkan hukum merokok. Yaitu, hukum merokok adalah makruh dan haram karena perbedaan pendapat di antara para ulama. Haram ditujukan untuk wanita hamil, ibu menyusui, dan anak-anak. Sementara, makruh ditujukan untuk selain mereka.
Atau, PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya yang telah menghukumi rokok dengan status haram. Fatwa ini dikeluarkan dalam sebuah muktamar di Yogyakarta pada 2010.
Kemudian, pada 2011, PBNU melalui Lembaga Bahtsul Masail menggelar forum tentang status hukum rokok. Hasilnya, hukum rokok adalah mubah dan makruh. Mubah karena tak ada ketetapan yang tegas dari Alquran maupun hadist yang menjelaskan soal hukum rokok. Sedangkan makruh jika mengganggu orang lain.
Saya sangat menghormati fatwa-fatwa tentang rokok dari lembaga dan ormas Islam yang ada di Indonesia tersebut. Namun, seperti bunyi pepatah Minangkabau ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’, menuntut kita untuk selalu menghormati aturan hukum di tempat kita merantau.
Maka, saya pun berniat sejak dari tanah air untuk berhenti merokok ketika saya sudah bertugas di Kota Makkah. Apa pasalnya?
Pertama, Mufti Besar Arab Saudi dan Ketua Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, melarang semua jamaah haji untuk tidak merokok di Kota Suci Makkah dan Madinah, apalagi di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Menurut dia, merokok bisa menebarkan bau yang menggangu kekhusyukan ibadah.
Selanjutnya, dari sisi aturan pemerintah Arab Saudi. Di mana, merokok sangat dilarang di tempat-tempat tertenu dan jika melanggar akan dijatuhi denda.
Adapun tempat yang dilarang di antaranya yaitu, di tempat ibadah dan sekitarnya, tempat pendidikan, pusat transportasi publik, kesehatan, olahraga, kebudayaan, sosial dan amal. Selain itu, juga dilarang di kantor-kantor perusahaan, pabrik, bank, dan lainnya. Adapun sanksinya bisa dikenakan denda senilai 5.000 riyal atau sekitar Rp 18 juta bagi pelanggar.
Soal realisasi dari aturan itu, Pemerintah Indonesia pernah mendapat teguran dari Pemerintah Arab Saudi soal rokok. Karena, selama musim haji, masih didapati jamaah yang masih merokok. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pada 2017 lalu.
"Yang dimarahin Pemerintah Indonesia. Kenapa tidak dilarang merokok?Lho, wong sudah disuruh tapi nggak mau dengar," kata Nila waktu itu.
Hal-hal tersebut menunjukkan bagaimana sikap ulama dan pemerintah Arab Saudi terhadap jamaah haji yang merokok. Artinya, merokok di Tanah Suci menjadi sesuatu yang membuat ulama dan pemerintah Arab Saudi tak nyaman.
Saya teringat pesan dari Konsul Haji dan Umrah KJRI Jeddah yang sekarang juga menjabat sebagai Ketua PPIH Arab Saudi, Endang Jumali saat pembekalan petugas haji di Asrama Haji Pondok Gede pada akhir April lalu. Pesannya adalah agar jamaah haji dan petugas tak melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan aturan di Arab Saudi. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi serta aturan yang berlaku di Arab Saudi.
Atas dasar itulah, sepuluh hari menjelang keberangkatan ke tanah suci, saya memutuskan untuk sekalian saja berhenti merokok. Ini mengingat aturan-aturan tentang rokok di Arab Saudi tak sama dengan di Tanah Air.
Sebenarnya, niat untuk berhenti ini sudah mulai sejak masa pembekalan petugas. Namun, hasilnya tak bisa langsung. Pelan-pelan saya mengurangi konsumsi rokok saya. Misalnya, jika satu bungkus untuk dua hari, maka saya memulainya dengan satu bungkus untuk satu pekan. Kemudian ketika masuk bulan puasa, saya mencobanya dengan satu bungkus untuk dua pekan. Dan, saya benar-benar memutuskan berhenti 10 hari menjelang keberangkatan ke tanah suci.