IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Syarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) menolak keterlibatan dua perusahaan berbasis aplikasi digital, Traveloka dan Tokopedia, dalam bisnis perjalanan umrah.
"Sapuhi menolak untuk menerima keterlibatan Traveloka dan Tokopedia dalam bagian apa pun pada bisnis penyelenggaraan ibadah umrah," demikian kutipan surat edaran yang ditandatangani Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi, diterima Ihram.co.id, Selasa (16/7).
Pernyataan itu merespons penandatanganan nota kesepahaman antara Menkominfo Rudiantara dan Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Arab Saudi pada 5 Juli lalu. Nota tersebut, menurut Syam, dapat menjadi peluang kapitalisasi bisnis umrah oleh Traveloka dan Tokopedia. Apalagi, dalam kesempatan ratifikasi MoU itu di Riyadh, Arab Saudi, Menkominfo diketahui juga mengajak perwakilan dua perusahaan tersebut.
Syam menjelaskan beberapa alasan Sapuhi menolak keterlibatan suatu perusahaan aplikasi digital yang bermodal besar (unicorn) dalam penyelenggaraan ibadah umrah dan haji di Indonesia.
Pertama, terjadinya peluang kapitalisasi bisnis umrah. Traveloka dan Tokopedia dinilai bisa melakukan kapitalisasi demikian sehingga, menurut Syam, akan merugikan jamaah umrah dan haji asal Indonesia di kemudian hari dengan pola kapitalisasi tertentu.
Di sisi lain, Syam mengakui, perjalanan umrah menjadi ceruk bisnis yang menggiurkan. Ada sekitar satu juta orang yang berangkat umrah setiap tahun dari Indonesia. Ini setara dengan perputaran dana sekitar Rp 20 triliun per tahun. Oleh karena itu, negara telah membuat aturan perundang-undangan untuk menjadikan seluruh pihak tertib dan menjamin keamanan calon jamaah.
Alasan kedua, masuknya perusahaan digital dengan skala unicorn dinilai Sapuhi dapat mengancam eksistensi biro-biro perjalanan umrah dan haji konvensional (offline). Sampai kini, ada sekitar 1.016 perusahaan di Indonesia yang sudah berizin penyelenggara ibadah umrah.
"Jika kita hitung setiap perusahaan memiliki 10 karyawan dan/atau 100 agen, maka bisa dipastikan ratusan ribu orang karyawan perusahaan terancam terdisrupsi jika bisnis umroh dibuka terhadap Traveloka dan Tokopedia," kata Syam mengandaikan.
Karena itu, Syam berharap, pemerintah bisa melindungi dan mendukung seluruh biro penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) yang sudah berizin. Apalagi, segenap PPIU itu sudah menaati peraturan yang ketat, termasuk yang diatur Kementerian Agama.
Kritik untuk Pemerintah
Lebih lanjut, Syam mengkritisi langkah Kemenkominfo yang melakukan MoU dengan pihak Arab Saudi. Menurut dia, seharusnya pemerintah menggandeng 1.016 PPIU serta pihak asosiasi penyelenggara ibadah umrah dan haji, bukan perusahaan-perusahaan aplikasi digital.
Sebab, mereka telah terbukti berpengalaman dalam urusan perjalanan umrah dan haji. Selain itu, dukungan terkait inovasi pelayanan juga dapat disampaikan kepada mereka.
"Maka Pemerintah seharusnya menggandeng asosiasi-asosiasi penyelenggara ibadah umrah yang membawahi 1.016 PPIU se-Indonesia," ujar dia.
Apalagi, menurut Syam, selama ini bisnis perjalanan umrah dan haji senantiasa dimutakhirkan, sesuai perkembangan teknologi. Misalnya, kata dia, Sapuhi sudah mempunyai sistem transaksi business to business serta business to customer. Demikian pula, Amphuri yang sudah mempunyai sistem bertajuk "Aisyah".
Pada akhirnya, Syam meminta pemerintah memerhatikan lagi aturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Di sana, terdapat pengaturan terkait travel umrah. Misalnya, bisnis demikian hanya boleh dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam, sebagaimana diatur pada Pasal 89 beleid tersebut.
"Pasal ini dengan tegas mengatur bahwa penyelenggaraan umrah wajib dimiliki dan dikelola oleh WNI beragama Islam," katanya.
Bagi Syam, aturan tersebut adalah bentuk perlindungan negara terhadap hak beribadah umat Islam. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa umrah adalah dari umat Islam, oleh umat Islam dan untuk umat Islam.