Rabu 24 Jul 2019 05:58 WIB

Jamaah di Masjid Nabawi: Kala Jumiatin Melawan Polisi Arab

Jumiatin melawan polisi Arab demi cinta kepada sang suami

Jamaah haji Indonesia mengikuti manasik haji di pelataran Masjid Nabawi,  Madinah,  Selasa (22/7). Manasik haji dilakukan untuk memantapkan pemahaman ibadah secara baik dan benar.
Foto: Republika/Syahruddin El-Fikri
Jamaah haji Indonesia mengikuti manasik haji di pelataran Masjid Nabawi, Madinah, Selasa (22/7). Manasik haji dilakukan untuk memantapkan pemahaman ibadah secara baik dan benar.

Oleh Syahruddin El-Fikri, dari Madinah, Arab Saudi

 

Namanya Helmi Hidayat, sahabat seprofesi yang kini menjadi dosen. Dia adalah konsultan Ibadah PPIH Arab Saudi 2019. Selain memberikan bimbingan, sebagai petugas ia juga berkewajiban membantu membina, melayani, dan melindungi jamaah haji Indonesia.

Berkenaan dengan tugasnya itu, ia mendapatkan pengalaman berharga pada Senin (22/7) lalu. Helmi bercerita, ketika mau shalat Maghrib, ia ingin shalat di dalam Masjid Nabawi. Apa daya, saat beberapa langkah ketika sudah berada di pelataran Masjid Nabawi, matanya tertuju pada sebuah keributan kecil di Pintu …. Ia melihat ada seorang perempuan bertengkar dengan askar (polisi) di Masjid Nabawi. Bergegas ia mendatangi lokasi tersebut.

Ta’al, ta’al, Andanusi, Andanusi, kata Helmi menirukan si polisi Arab menunjuk perempuan berusia 65 tahun yang ada di depannya. “Suwayya, suwayya,” kata Helmi sambil berlari kecil ke arah pertengkaran itu.

Ternyata si polisi, kata Helmi, melarang perempuan itu masuk ke barisan jamaah laki-laki. Mungkin si perempuan ini tak paham, kalau dirinya berada pada barisan laki-laki yang hendak shalat berjamaah di halaman masjid. Bagi polisi Arab, jamaah laki-laki haram dimasuki jamaah perempuan, demikian pula sebaliknya.

Begitu sampai di lokasi keributan, ungkap Helmi, ternyata di sana ada tiga hamba Allah, bukan dua seperti dugaan awal, yakni si perempuan itu dan polisi Arab. Satu lelaki tua, sekitar 70 tahun, ternyata tengah berdiri menyender ke tiang payung raksasa, lengkap dengan kain sarung dan peci. “Makanya saya tak melihatnya dari kejauhan. Rupanya perempuan itu hendak mendampingi si lelaki tadi shalat berjamaah disisinya. Dan bagi polisi Arab, hal itu sangat terlarang.

“Bu, maaf ya bu,” kata Helmi merayu si perempuan tua yang ngotot ingin masuk ke barisan jamaah laki-laki. “Ibu shalat di sana, bareng jamaah perempuan. Di sini khusus buat jamaah laki-laki.”

“Iya, saya tahu,” jawab perempuan itu gesit. “Tapi siapa yang mau jagai suami saya? Saya titip suami saya lho ya,” lanjut si perempuan.

 

Oh, rupanya perempuan ini gigih ingin menjaga suaminya yang hendak bergabung dengan ribuan jamaah lelaki. Dia khawatir kehilangan suaminya. Kepada si polisi masjid, Helmi menyampaikan; “Hiya laa turiid an tufaariqa zaujahaa.”

Si polisi berkumis tipis itu tersenyum mendengar penjelasan Helmi. Perempuan tua itu bukan ingin melanggar peraturan, tapi hanya tak mau berpisah dengan suaminya. //Ah, romantis sekali.

Mendengar amanat yang disampaikan perempuan itu, kata Helmi, ia jadi ngeri. Ini Tanah Suci. Jika pura-pura mengiyakannya, padahal dia tak mendampingi lelaki tua itu selama shalat Maghrib, Helmi khawatir kualat. “Saya batalkan niat shalat di dalam masjid,” ujar Helmi.

Perempuan itu berlalu. Helmi berkata, ia pandangi perempuan itu, dan ternyata tetap tak mau bergabung dengan jamaah perempuan yang shalat di pelataran masjid. Dia lebih memilih shalat bersama dua perempuan lain di luar barisan jamaah perempuan asalkan dari situ dia bebas memantau suaminya.

Kejadian berikutnya, ungkap dosen UIN Syarif Hidyatullah ini, sungguh luar biasa. Berbarengan saat salam pertama, ia menengok ke kanan, matanya pas tertumbuk pada perempuan itu yang tengah menengok ke kiri melakukan salam kedua. “Wajahnya memancarkan kekhawatiran. Rupanya ia tengah memastikan apakah suaminya benar-benar masih ada,” jelasnya.

Helmi menanyakan nama dan asal lelaki disampingnya. “Fathur, Fathurahman. Dari Malang.”

“Itu istri bapak? Siapa namanya,” tanya Helmi menunjuk perempuan tadi. Lelaki itu menyebut nama “Jumiatin” plus empat anak.

Selidik punya selidik, Helmi menjadi paham kenapa Jumiatin khawatir melepas Fathurrahman. Sebab, ketika ditanya di mana hotel tempat menginap di Madinah? Fatur, menunjuk sebuah hotel yang sangat jauh.

“Bu Jumiatin, ini Pak Fathur saya serahkan. Hati-hati jalan ke hotel ya bu,” kata Helmi kepadanya. Lho, kok tahu nama saya,” kini Jumiatin yang heran.

Helmi menanyakan di mana tinggalnya. Tanpa diduga, Jumiatin menunjuk hotel persis di depan pagar Masjid Nabawi. Sangat kontras dengan pernyataan Fathurrahman.

Dengan niat bercanda Helmi mengatakan, “Nama ibu kan ada di gelang ini,” sambil menunjuk gelang identitas haji. “Jangan hilang, ya bu.”

Jumiatin hanya mengangguk sambil mempererat pelukannya pada Fathur. Ia lalu balik badan menuntun lelaki tua di sampingnya menuju hotel. “Dugaan saya benar. Pak Fathur tak tahu jalan.”

Padahal, ungkap Helmi, waktu ditanya siapa nama istrinya, usai menyebut nama Jumiatin, Fathur sempat berkata kepadanya bahwa istrinya “bawel, suka ngatur-ngatur.”

Helmi tersenyum. Ia jadi teringat istrinya nun jauh di Indonesia. “Dia juga saya rasakan suka “ngatur-ngatur” seperti yang dirasakan Fathur. “Tapi sekarang di Tanah Suci ini, saya tambah yakin, di balik kebiasaan “ngatur-ngatur” istri saya, sejatinya ada cinta agung seperti cinta Jumiatin untuk Fathurrahman. Makanya, demi cinta agung Jumiatin pada suaminya, polisi Arab pun dia lawan,” kata Helmi.

Seperti Helmi, sekarang saya juga jadi tahu, mengapa istri saya selalu menggandeng tangan saya. Karena ada cinta yang tulus, untukku. I Love u, honey !

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement