Sejarah Wakaf
Sejarah wakaf untuk jamaah Aceh ini dimulai sejak 1809 M. Menurut Pengendali Teknis Bimbingan Ibadah PPIH Arab Saudi, Oman Fathurahman, wakaf ini tak lepas dari kedermawanan seorang ulama asal Aceh yang lama tinggal di Makkah. Yaitu, Habib Abdurrahman bin Alwi Al Habsyi atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Bugak.
Oman yang merupakan seorang pakar filologi (manuskrip) menyebut, ada 100 manuskrip yang menulis tentang sejarah wakaf Aceh di Makkah tersebut. Dalam manuskrip diketahui bahwa wakaf itu tidak boleh digadaikan, diperjualbelikan, dipinjamkan, dan diberikan begitu saja kepada orang.
"Intinya, wakaf ini hanya untuk orang Aceh," kata Oman.
Dari situ diketahui, Habib Bugak membeli rumah di antara bukit Marwah dan Masjid Al Haram. Dan, kemudian mewakafkannya untuk orang Aceh yang menunaikan ibadah haji. Di mana, pada saat itu orang Aceh yang naik haji bisa menempati rumah tersebut.
Sementara, Jalaluddin, petugas Baitul Asyi mengatakan, seiring berjalannya waktu, Masjid Al Haram mengalami perluasan. Sehingga, hasil dari penggusuran rumah tersebut dibelikan dan dijadikan wakaf produktif.
Di antaranya, yaitu membangun lima unit hotel di Makkah. Hingga saat ini, ada lima hotel yang dikelola oleh Baitul Asyi. Yaitu, dua hotel di ring satu Masjid Al Haram, satu hotel di kawasan Syaukiah, dan dua hotel di kawasan Aziziah. Namun, hotel itu tidak diperuntukkan bagi jamaah haji asal Indonesia. Tetapi, keuntungan hotel tersebut salah satunya dibagikan dalam bentuk uang kepada orang Aceh yang naik haji setiap tahunnya.
Plt Sekda Aceh, Helvizar Ibrahim, yang hadir pada acara tersebut mengatakan, wakaf ini merupakan bentuk bagaimana orang-orang tua dulu peduli terhadap masa depan Aceh di masa mendatang. Dia berharap, wakaf ini menjadi model dan contoh bagi umat muslim untuk membangun ekonomi umat.
“Umat muslim bisa melihat bagaimana orang Aceh mengelola wakaf produktif yang manfaatnya bisa dirasakan di kemudian hari,” kata Helvizar yang juga menjadi jamaah haji dan menerima uang wakaf tersebut.