Selasa 30 Jul 2019 17:05 WIB

Srikandi-Srikandi di Tanah Suci

Para perempuan divisi perlindungan jamaah ini menolong jamaah dengan sepenuh hati

Rep: Syahruddin El-Fikri/ Red: Hasanul Rizqa
Para petugas haji Seksi Perlindungan Jamaah daker Madinah
Foto:

Selama melayani tamu-tamu Allah SWT itu, terkadang ada kesulitan yang dialaminya. Terutama masalah bahasa. Ada beberapa jamaah yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Mereka hanya bisa berbicara dalam bahasa daerah. "Jadinya terpaksa bahasa isyarat alias bahasa tarzan," kata dia.

Justru, dengan bahasa isyarat tersebut, dia dan jamaah menjadi paham dan mengerti keinginan dan maksud masing-masing pihak. Ke de pan, Yose berharap, sosialiasi keber ada an hotel kepada jamaah bisa lebih diintensifkan agar mereka mudah memahami letak pemondokannya.

Anggota Srikandi Linjam lainnya, Endah Setyaningrum, merasa kenangan paling berkesan di Tanah Suci, yaitu ketika mendampingi jamaah haji berusia lanjut. Dia pernah menemui seorang jamaah perempuan berusia di atas 60 tahun. Daya ingatnya sudah berkurang. Tenaganya pun terbatas. "Dia tak bisa bahasa Indonesia, datang ke Seksus Nabawi sambil menunjukkan ke kakinya, tidak memakai sandal," ujar Endah.

Karena kasihan dengan kondisi si nenek yang sudah sepuh, anggota linjam lainnya bergegas mencarikan sandal pengganti. Setelah diberikan sandal pengganti, sang nenek ini rupanya minta diantar karena tidak tahu alamat hotelnya. "Ya, setelah kami lakukan pengecekan, ternyata alamat hotelnya cukup jauh, dan akhirnya diantar," kata Endah.

Selama dalam perjalanan mengantar jamaah, komunikasi yang dilakukan seadanya. Sesekali pakai bahasa isyarat. Nyatanya, meski dengan bahasa isyarat, nenek yang berasal dari Medan itu memahami maksudnya. Demikian pula sebaliknya.

Sesampainya di hotel, si nenek enggan berpisah dengan Endah. "Nenek tersebut mengira saya adalah cucunya sehingga meminta selalu ditemani," kata Endah. Petugas kloter serta jamaah asal Medan mencoba membujuk si nenek agar merelakan dirinya berpisah karena harus melayani jamaah lainnya. Namun, si nenek tetap saja menolak.

Akhirnya dia menemani dan mencoba berbincang dari hati ke hati. Akhirnya si nenek sadar dan mau ditinggal oleh Endah. Dia sangat terharu saat berpisah dengan si nenek. "Saya merasa beliau adalah nenek atau orang tua saya sendiri, saya harus melayani dan membimbingnya, menemaninya setiap saat," kata Endah terharu.

Kejadian serupa dia alami ketika mengantar seorang jamaah dari Kabupaten Kampar, Riau. Nenek Isah, namanya. "Beliau tahunya, Madinah ini adalah kampungnya sehingga begitu ketemu, saya dianggap cucunya," ujar Endah. Bahkan, saat Endah meng antar nya sampai ke pemondokan, Nenek Isah ogah berpisah. Dia sampai menangis, meminta Endah tetap mendampinginya.

Walaupun ada beberapa kendala dalam melayani jamaah, Endah meng anggapnya sebagai tantangan dan peluang. Semua selalu ada hikmahnya untuk belajar. Baginya, tantangan yang dihadapi bagaikan ujian yang harus diselesaikan. "Insya Allah, semoga Allah memberi kemudahan kita semua untuk memberikan layanan terbaik bagi jamaah," ujarnya.

rep: Syahruddin El-Fikri / ed: Qommarria Rostanti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement