IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Pertemuan antara Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Kesehatan dengan agenda utama pembahasan penggunaan masker ditinjau dari aspek hukum fikih, menyimpulkan masker yang digunakan jamaah haji atau umrah selama berihram adalah boleh (mubah).
Ketua Majelis Ulama (MUI) Bidang Fatwa, Prof Huzaemah Tahido Yanggo, mengatakan penggunaan masker saat berihram itu karena darurat atau lilhajah dan demi kepentingan kesehatan.
"Kalau darurat itu tidak boleh tidak, harus dilaksanakan (menggunakan masker). Al -hajah itu kebutuhan mendesak belum sampai pada mengancam jiwa. Kalau mengancam jiwa itu li adhnamanya," kata Profesor Huzaemah saat ditemui Republika.co.id, di sela-sela Focuss Group Discussion (FGD) yang digelar Kemenkes di Jakarta, Jumat (30/8).
Jadi, kata dia, untuk masalah tersebut mayoritas anggota yang hadir sudah sepakat membolehkan masker digunakan dengan kriteria darurat dan demi pertimbangan kesehatan. Persoalannya yaitu, apakah yang menggunakan masker saat berihram itu harus dibebani membayar fidyah atau tidak. "Kalau menurut pendapat saya pribadi tidak membayar fidyah. Kasihan jamaah pada saat haji tamattu dua kali bayar dam," kata dia sembari menggarisbawahi pendapat ini bukan pendapat MUI tapi pandangannya pribadi. "Ini pendapat pribadi saya bukan MUI karena ini belum diputuskan," katanya.
Huzaemah menyampaikan, dasar hukumnya yang menggunakan masker tidak perlu membayar fidyah ketika darurat menggambil pendapat ikhtilaf para ulama. Di antara ulama yang berpendapat itu adalah Imam Syafii yang mengatakan mubah.
"Kemudian satu pendapat Imam Abu Hanifah Imam Malik dan lain-lain tidak juga mengatakan haram tapi dia hanya mengatakan tidak boleh," katanya.
Terkait tidak boleh menggunakan masker itu juga, kata Huzaemah, perlu dikaji lagi. Apakah tidak boleh itu haram atau makruh. Dia berkesimpulan menggunakan masker saat berihram tidak perlu membayar fidyah.
Sementara itu anggota Komisi Fatwa Miftahul Huda sependapat dengan Huzaemah. Katanya ketika penggunaan masker sudah dibolehkan karena darurat atau hajat maka tidak perlu lagi menbayar fidyah.
"Akan tetapi kita masih perlu merujuk kembali kepada pendapat ulama-ulama terdahulu," katanya saat ditemui secara terpisah pada forum yang sama.
Karena kata, Miftahul Huda, dalam situasi hampir sama ada seorang sakit di kepalanya (bisul, koreng dan lain-lain) dan ditutup kepalanya masih terkena fidyah. Hal tersebut seperti diterangkan di dalam kitab syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi.
"Apakah penggunaaan darurat maskar dalam penggunaan darurat atau hajat dianalogikan kepada kasus tersebut?" katanya.