REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung dan First Travel sepakat untuk komitmen mengembalikan uang jemaah umrah yang tertipu. Audiensi antara kejaksaan dan biro perjalanan ibadah tersebut setuju untuk melakukan upaya sesuai tugas masing-masing agar kerugian materiel para jamaah dapat diganti lewat pengembalian aset. First Travel memastikan akan melakukan peninjauan kembali (PK). Sedangkan, Kejaksaan Agung sampai saat ini masih mengkaji sejumlah opsi melawan putusan Mahkamah Agung (MA).
“Ya, tadi itu semacam audiensi dan mediasi. Pihak First Travel sudah menyatakan akan mengajukan PK. Dan kami di kejaksaan nanti akan putuskan langkah-langkahnya seperti apa,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Mukri saat dijumpai Republika seusai pertemuan dengan pihak First Travel di gedung Kejaksaan Agung, di Jakarta Selatan (Jaksel), pada Jumat (22/11). Mukri mengatakan, sejumlah opsi dari kejaksaan tersebut, termasuk di antaranya, menyiapkan upaya hukum luar biasa.
“Yang pasti, kita bersama komitmen untuk mengembalikan barang bukti yang sudah diputuskan dirampas itu dikembalikan kepada korban. Intinya ya seperti itu,” kata Mukri. Saat ini, kata dia, aset-aset yang disita, masih dalam penguasaan negara akibat putusan MA. Kejaksaan Agung, kata dia, sudah meminta agar seluruh barang bukti yang disita itu tak dilakukan lelang. Karena, pun Mukri menegaskan, tuntutan kejaksaan sejak awal meminta agar pengadilan mengembalikan aset First Travel kepada para korban.
Mediasi dan audiensi antara First Travel dan Kejaksaan Agung berlangsung sekitar satu jam sejak sore menjelang Ashar. Mukri, mewakili kejaksaan. Adapun dari First Travel, tiga pengacara pendamping, ambil bagian. Pengacara Boris Tampubolon yang Republika temui seusai pertemuan menyampaikan, ada tiga inti dari pertemuan dengan kejaksaan tersebut. Pertama, dia mengungkapkan, First Travel memastikan akan mengajukan PK atas putusan MA. PK kata dia, menjadi sarana hukum luar biasa untuk memberikan rasa adil kepada para korban kliennya, yang menuntut adanya ganti kerugian.
“PK akan kita ajukan pekan depan,” ujar Boris. Menurut dia, PK ke MA memang menjadi langkah realistis secara hukum untuk mengembalikan aset kepada para korban. Karena kata Boris, First Travel punya kedudukan hukum sebagai pihak tergugat dalam putusan MA.
“Kalau PK ini kan kita (First Travel) punya legal standing-nya. Dan memang, First Travel menginginkan agar aset-aset yang disita itu untuk mengganti kerugian jamaah,” ujar Boris. Kesepakatan lain dengan kejaksaan, kata Boris, yaitu membangun komitmen agar memenuhi harapan ganti rugi para korban.
“Jadi, pihak kejaksaan dan kami (First Travel), satu visi, bahwa aset itu, dikembalikan untuk jamaah,” terang Boris. Namun, ia pun mengungkapkan, dalam pertemuan tersebut, kejaksaan belum memutuskan akan mengambil langkah hukum seperti apa.
“Kalau itu nanti soal teknis dari kejaksaan. Apakah hanya komunikasi lintas lembaga, atau bersurat atau melakukan langkah hukum. Namun, kita sudah sepakat satu visi untuk mengembalikan kerugian jamaah,” sambung Boris. Namun, Boris menambahkan, di luar dua komitmen hasil pertemuan tersebut, ada tambahan satu keinginan sepihak dari First Travel. Yaitu, menyangkut nasib bos First Travel.
Boris mengatakan, dalam rencana ajuan PK, nantinya selain meminta MA mengembalikan aset First Travel untuk mengganti kerugian materiel para korban, juga disertai dengan permohonan pembebasan kliennya. Menurut Boris, putusan memenjarakan dua bos First Travel tak sesuai.
“Karena ini kan kasusnya perdata. Ganti kerugian. Dan klien kami (First Travel) sudah mengatakan akan memberikan ganti kerugian. Jadi, seharusnya tidak dipidana,” terang Boris. Kata dia, lewat penjualan aset, Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan bersedia mengembalikan ganti kerugian para jamaah yang tertipu.
“Mas Andika (dan Anniesa) itu punya iktikad baik mengganti kerugian, tetapi ini kan asetnya sudah disita negara,” kata Boris.
Ketika ditanya apakah seluruh aset yang dinyatakan MA disita oleh negara itu punya nominal yang sama dengan jumlah ganti kerugian para korban? Boris mengatakan, belum mengetahui nominal pasti nilai aset tersebut jika diuangkan. Namun, Boris mengatakan, tak semestinya aset milik First Travel itu dirampas negara. Karena dengan perempasan tersebut membuat First Travel tak bisa memberikan ganti rugi dari keinginan para jamaah.