REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam perjalanan haji wada (perpisahan), Nabi Muhammad ditemani sejumlah sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 25 Dzulqaidah tahun 10 Hijriyah itu memberikan nilai sejarah yang penting dalam Islam.
Namun, sebelum musim haji berlangsung, Rasulullah menitipkan pesan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib beberapa hal yang diamanatkan mengenai ketentuan ibadah ke Baitullah. Dalam buku Ali bin Abi Thalib karya Ali Audah, Sayyidina Ali menyampaikan amanat tersebut dengan sangat baik. Amanat itu perlu disampaikan dengan meningat dan menimbang kondisi Ka’bah sebagai kota suci umat Islam.
Semasa itu, sebelum hijrah dilakukan Nabi ke Madinah, Semenanjung Arab masih dipenuhi oleh orang-orang kafir. Mereka masih kental sekali menerapkan budaya jahiliyah mereka.
Tak hanya itu, tak sedikit dari mereka yang datang dari pelosok-pelosok dan berziarah ke Ka’bah untuk menyembah berhala. Walau, berhala-berhala tersebut sudah tidak ada lagi bahkan sejak tahun ke-9 Hijriyah.
Pada tahun ke-9 setelah Sayyidina Ali dan Sayyidina Abu Bakar diminta oleh Rasulullah memimpin rombongan haji berangkat dari Madinah, turunlah wahyu yang menyebutkan perintah dalam Surah at-Taubah bahwa orang musyrik, orang kotor, dan orang telanjang dilarang memasuki Baitullah.
Maka, ketika tahun itulah, bila banyak orang sudah berkumpul di Mina untuk melaksanakan ibadah haji, Sayyidina Ali diminta untuk membacakan Surah at-Taubah ayat 9 hingga ayat 36. Dalam menyampaikan seruannya itu, Sayyidina Ali berdiri didampingi oleh Abu Hurairah.
Selesai itu dan setelah berhenti sejenak, sambil berdiri di tengah-tengah orang yang sedang menunaikan upacara haji di Mina, Sayyidina Ali berkata sebagaimana pesan yang diamanahkan dari Rasulullah.
“Saudara-saudara! Orang-orang kafir tidak akan masuk surga. Sesudah tahun ini, orang musyrik tidak boleh lagi mengerjakan ibadah haji, tidak boleh lagi bertawaf di Ka’bah dengan telanjang. Barang siapa terikat oleh suatu perjanjian dengan Rasulullah SAW maka itu tetap berlaku sampai pada waktunya.”
Sayyidina Ali menyampaikan keempat pesan itu di tengah keramaian. Kemudian, kepada mereka diberi waktu empat bulan agar setiap golongan dapat pulang ke daerah dan negeri mereka. Sejak pengumuman itulah sudah tidak ada lagi orang musyrik mengerjakan haji.
Tidak ada lagi orang telanjang bertawaf di Ka’bah maupun budaya tak senonoh masyarakat Arab era jahiliyah. Maka, pada musim haji berikutnya, yakni tahun ke-10 Hijriyah, Rasulullah bersama sahabat bersiap-siap dari Madinah untuk melaksanakan haji wada.