REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kementerian Agama (Kemenag) RI sudah mengkonfirmasi bahwa surat Kementerian Haji Saudi tertanggal 12 Maret 2020 tersebut benar adanya dan sudah diterima Pemerintah RI. Wakil Ketua Umum Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri) Artha Hanif mengatakan, berdasarkan tekstual dari isi surat tersebut ada tiga hal penting yang perlu diantisipasi oleh Pemerintah RI dan penyelenggara perjalanan ibadah haji khusus (PIHK).
Dalam hal ini Kesthuri memiliki tiga hal untuk dapat diantisipasi oleh Kemenag dan PIHK. Pertama, diharapkan PIHK tidak terburu-buru dan memaksakan diri membayar uang muka hotel dan fasilitas haji khusus lainnya kepada partner PIHK di Saudi Arabia. Kedua, menghadapi wabah virus Corona yang butuh waktu panjang dan belum tentu cepat reda, sangat mungkin Kerajaan Saudi akan mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengamankan warga negaranya.
"Dan juga semua jamaah haji serta negara Saudi secara keseluruhan dari dampak penyebaran virus Corona yang terus berlanjut," kata Artha saat berbincang dengan Republika, Kamis (19/3).
Apalagi kata dia, sudah ada perkiraan dari pejabat negara kita, bahwa puncak wabah virus corona di Indonesia akan terjadi dalam 60-90 hari ke depan. Melanjutkan terkait antisipasi kedua, Artha menyampaikan, bahwa kebijakan khusus Kerajaan Saudi yang dimaksud, misalnya saja waktu proses penyelesaian kewajiban Indonesia kepada para pihak Saudi diperpendek.
Atau lamanya jamaah haji Indonesia boleh berada di Saudi, baik di Makkah maupun Madinah juga dipersingkat. "Selama ini, lamanya jamaah haji reguler Indonesia rata-rata sekitar 40 hari dan jamaah haji khusus Indonesia rata 20-25 hari," katanya.
Ini semua kata Artha bisa menjadi pertimbangan dan pilihan Kerajaan Saudi untuk membatasi jamaah haji yang berangkat haji pada tahun ini. Apabila kondisi ini benar terjadi, maka pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah Pemerintah RI dan PIHK sudah siap untuk mengantisipasi dan mendapatkan solusi praktisnya.
"Sehingga jamaah haji Indonesia sesuai kuota tetap bisa berangkat haji pada tahun 2020 ini," katanya.
Menurut hematnya, pemerintah dan PIHK kata Artha, perlu menyiapkan contingency plan dan beberapa opsi pilihan untuk merubah rancangan persiapan haji dan pelaksanaan program layanan operasional selama di Saudi Arabia.
Antisipasi ketiga, kata Artha, terkait kondisi dalam negeri, perkembangan kurs rupiah terhadap USD perhari ini sudah melewati angka tertinggi selama pemerintahan Presiden Jokowi jilid 2 yakni sudah di atas Rp 16.000 per dollar.
Artha mengatakan, kebutuhan beli USD yang begitu besar untuk memenuhi kewajiban pelunasan haji khusus sebagaimana yang sudah diatur oleh Kemenag RI sejak 16 Maret lalu, secara tidak sengaja menjadi faktor dalam negeri yang makin memperlemah nilai mata uang Indonesia. Artha merinci sesuai kuota haji khusus, potensi kebutuhan USD untuk pelunasan haji khusus adalah $ 4000 × 17.000 = $ 68.000.000 atau sekitar 1 trilyun rupiah.
"Bila ini terus berlanjut, dikhawatirkan perburuan USD sekarang ini membuat ekonomi Indonesia makin tidak terkontrol. Hemat kami, hal ini semestinya menjadi pemikiran serius pemerintah," katanya.
Artha menyampaikan, bahwa Kesthuri memiliki usul, sebaiknya Kemenag RI menunda penutupan pelunasan haji khusus yang dalam surat edaran Kemenag hingga 27 Maret dan dirubah menjadi paling lambat tiga hari kerja setelah Kerajaan Saudi mengumumkan dibukanya haji dari Indonesia.
"Atau Kemenag RI bisa menghentikan sementara pelunasan haji khusus mulai 20 Maret 2020 hingga waktu yang paling tepat dan kondusif untuk kembali melakukan pelunasan. Wallahu'alam," katanya.