REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika dan Penulis Buku Tawaf Bersama Rembulan
Menjadi haji dari zaman dulu memang tak mudah. Semenjak zaman Belanda tudingan kepada sosok ini hampir selalu pejoratif. Mulai dari tuan tanah, penghisap rakyat, orang Arab, hingga pengikut demit pengumpul kekayaan.
‘’Pergi haji ke Makkah itu untuk mencari ‘pesugihan’ atau tuyul. Di sana –di salah satu tiang masjid di Masjidil Haram, banyak orang yang menawarkan tuyul,’’ begitu tudingan yang lazim di dengar pada masyarakat di pedlaman selatan Jawa hingga dekade 1980-an.
Pelecehan ini makin menjadi karena memang pada saat itu kerap terjadi penipuan terhadap orang yang berangkat haji. Pada tahn 1960-an misalnya banyak keluarga Muslim sederhana yang tinggal di desa-desa dipermalukan karena gagal berangkat suci.
Padahal saat itu sudah digelar ‘walimatusafar’ yang meriah. Banyak calon haji yang sudah potong hewan ternak, seperti sapi, untuk menjamu para tamu yang hadir dalam selamatan. Tak hanya itu duit yang sudah disetor untuk biayai haji juga raib tak tentu rimbanya. Katanya: sudah dibayarkan kepada syekh di Arab!
Adanya situasi ini tentu saja menjadi santapan isu politik. Apalagi kala itu tengah terjadi perseteruan yang hebat antara PKI dan seteru politik utamanya, yakni Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Situasi di akar rumput pedesaan semakin membara karena Ketua Umum PKI kemudian ‘meletupkan’ kampanye politik: ‘Waspada Terhadap Tujuh Setan Desa’. Aidit memanfaatkan isu ini untuk menyingkirkan peran posisi politik kaum Muslim.
Maka dia pun menggoreng isu kisruh penyelenggaraan haji, mengkaitan para haji sebagai tuan tanah yang tamak, dan hingga membuat tudingan bahwa para haji sebagai pendukung utama gerakan DII/TII . Tak hanya itu para haji, terutama d Jawa Barat, dia sebut sebagai penyokong partai Masjumi dan PSI yang pada saat itu dibubarkan dan dinyatakan terlarang oleh rezim Sukarno.
Sikap anti terhadap kiprah para haji dan partai Masyumi (serta PSI) tampak nyata bila membaca dan menelisik buku yang ditulis DN Aidit: 'Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa’. Buku setebal 108 halaman dengan gambar sampul wajah seorang petani yang terlihat marah sembari mengacungkan sabit ini terbitan Jajasan Pembaruan, Djakarta, tahun 1964.
Pada bagian pendahuluan sang penulis, yakni Aidit, tampak bersemangat sekali menghapuskan semua pihak yang dianggap menjadi penghalang cita-cita partainya. Tak hanya itu Aidit pun mengklaim bahwa partainya itu tidak anti agama dan pejuang Pancasila sejati, meski dibagian tulisan lain terlihat jelas tak menginginkan peran politik dari kalangan umat Islam.
Di banyak bagian buku Aidit menuliskan sikap idelogi dan pemikirannya sebagai berikut:
..kaum tuan tanah djahat dengan aktif menyebarkan propaganda anti-Manipol, banyak haji tuantanah yang menjalahgunakan agama untuk memperluas milik tanahnya dan memperhebat penghisapan terhadap kaum tani...
.....Tuantanah-tuantanah djahat itu biasanya adalah bekas anggota-anggota Partai Terlarang Masjumi-PSI, penjokong aktif gerombolan DI-TII ketika masih meradjalela kontra-revolusioner jang terjadi dalam bulan Mei tahun 1963. Kini mereka bersarang dalam Madjelis Ulama (MU), jaitu yang sesungguhnja merupakan ‘’Masjumi gaja baru”, dan mencari perlindungan pada alat-aat kekuasaan sivil dan militer seperti lurah, Koramil (Komando Rajon Militer, setingkat ketjamatan), Bintara Pembina Wilajah, Hansip (Pertahanan Sipil), OPR (Organisasi Pertahanan Rakjat) dll....
Di halaman lain dari buku itu Aidit menulis begini: "...Mereka mengatakan:BTI anti-agama dan anti-Pantjasila. Mengenai soal ini, kaum Komunis perlu memberikan djawaban, bahwa setan-setan desalah, jang telah memperalat agama dan Pantjasila untuk merobohkan RI dan tudjuan-tudjuan jahat lainnya. Lagi pula yang membakar-bakar mesdjid-mesdjid dan mengkorup kotum hadji bukanlah anggota BTNI atau PKI, tetapi setan-setan desa dan pendjahat-pendjahat yang mengaku beragama dan ber-Tuhan.
Kalau makin lama makin kurang djumlah kaum tani yang mendengarkan chotbah dilanggar-langgar dan mesdjid-mesdjid adalah karena tempat tersebut sering dijadikan mimbar tokoh-tokoh Madjelis Ulama, jaitu Masjumi gaja baru dan DI gaja baru..."
Tak hanya itu dibagian buku yang lain juga menyebut organisasi anti komunis seperti SOKSI yang disebut juga oleh Aidit sebagai ‘PSI Gaya baru’.
****
Meski adanya tekanan yang hebat dari kekuatan komunis, semangat berhaji kaum Muslim Indonesia pada ‘dekade panas’ tetap tak tertahankan. Pada tahun 1960 yang orang naik haji tercatat sebanyak 11.613 orang, tahun 1961 (7.820 orang), tahun 1962 (10.003 orang), tahun 1963 (15.039 orang), tahun 1964 (15.004 orang), dan tahun1965 (15.000 orang).
Bahkan, meski tekanan politik kepada para haji semakin keras, minat untuk berhaji ini ternyata kian lebih meningkat bila dibandingkan dengan periode lima tahun sebelumnya. Pada tahun 1955 tercatat yang berangkat haji mencapai 1.2621 orang. Tahun1956 (13.424 orang), tahun 1957 (16.842 )orang, tahun 1958 (10.314 orang), dan tahun 1959 (10.318 orang).
Namun pada sisi lain, memang harus diakui meski dianggap sebagai orang kaya, bahkan bila di kawasan perdesaan kerap disebut anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) sebagai ‘tuan tanah’, sebetulnya profil mereka tetap masih sangat sederhana. Pergi haji ke Makkah adalah satu-satunya pengalaman mereka untuk pergi ke luar negeri.
Ini tentu saja berbeda gaya dan perilaku para orang kaya saat itu yang menduduki jabatan di birokrasi yang pergi ke luar negeri dengan gaya yang mentereng dan dengan tas yang ‘dipenuhi uang’. Para haji pergi dengan penampilan dan gaya ‘sangat sederhana’ bahkan bisa disebut kuno atau ketinggalan zaman. Mereka pun tidak naik kapal terbang, tapi menumpang kapal laut selama tiga pekan untuk sekali jalan.
Penampilan dan sikap sederhana ini terus berulang sampai pertengahan akhir tahun 1970-an, di mana kepergian haji dengan menumpang pesawat udara. Maka tak ayal lagi setiap kali tiba musim haji muncul pemandangan ‘memelas’ sekaligus mengharilan dan juga menggelikan, karena banyak jamaah haji kebingungan ketika menggunakan sarana kapal terbang.
Guruan yang paling sering terdengar adalah betapa para calon haji itu banyak yang melepas sandal jepitnya ketika hendak naik ke kapal terbang. Kegagapan ini makin menjadi ketika mereka kebingunan memakai toilet di dalam pesawat terbang. Ini karena mereka harus mengganti cara bersucinya dengan lebih banyak memakai tissue dari pada dengan air.
Tak hanya itu, para jamaah kala itu kerapkali mengaku perutnya mules sesuai menyantap hidangan yang disediakan para awak pesawat.
’’Makanan apa itu. Gak ada rasanya. Malah bikin saya buang-buang air,’’ begitu cerita para mantan jamaah haji yang berangkat