REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Memasuki abad ke-14, Makkah sebagaimana kota-kota di Asia Barat juga menghadapi bayang-bayang ancaman wabah Maut Hitam (The Black Death). Hingga kini, para sejarawan masih memperdebatkan muasal wa bah yang terjadi dalam rentang tahun 1346-1353 itu. Narasi umumnya, wabah tersebut dibawa bakteri Yersinia pestis yang menginfeksi kutu. Kutu itu lantas hidup pada kulit tikus habitat padang rumput Asia Tengah.
Pada abad ke-14, Jalur Sutra ramai menghubungkan perniagaan antara Asia dan Eropa. Kuat dugaan, tikus-tikus pembawa kutu tersebut ikut terbawa dalam barang-barang dagangan dari Asia ke Eropa. Orang yang terinfeksi Yersinia pestis biasa nya mengalami demam, sakit kepala, hingga tubuh lemas. Dalam lima hari, sang korban dapat kehilangan nyawa bila tidak diobati secara benar. The Black Death menghan curkan sebagian besar Eropa dan Laut Tengah. Lebih dari 50 juta orang meninggal. Angka ter sebut setara 60 persen dari seluruh populasi Eropa saat itu.
Kohn memaparkan, wabah Black Death juga memporak-porandakan beberapa negeri di Asia Barat. Menurut dia, wabah itu pertama kali memasuki kawasan tersebut dari selatan Rusia. Pada 1347, balatentara di bawah pimpinan Malik Ashraf, seorang pemimpin dari Dinasti Jalayirid, hendak mengepung Baghdad. Mereka berarak dari Tabrizsalah satu ko ta dengan persebaran wabah terparah. Sesampainya di pinggiran Kota Baghdad, Malik akan mempersiapkan pengepungan, tetapi kemudian membatalkannya.
Sebab, pasukannya sudah terjangkit wabah. Tak menunggu waktu lama, wabah yang sama menyebar ke Baghdad. Di musim gugur tahun yang sama, sebaran wabah sudah mencapai Iskandariah (Mesir) dan Istanbul (Turki), lalu Gaza (Palestina). Dalam periode 1348-1349, lanjut Kohn, wabah itu sampai di Makkah. Kemungkinan, beberapa jamaah haji yang datang dari luar Tanah Suci menjadi carrier-nya. Namun, orang-orang juga percaya, kaum non-mukmin yang membawa wabah itu. Betapapun demikian, ribuan orang, termasuk jamaah haji dan penduduk setempat, meninggal dunia setelah terinfeksi wabah tersebut.
Kawasan Asia Barat mulai aman dari wabah setelah melewati abad ke-14. Barulah sejak abad ke-19, ancaman penyakit skala masif kembali merundung. Makkah didera epidemi sebagai imbas dari pandemi kolera Asia 1826-1837. Pada musim haji tahun 1831, jamah dari Mesopotamia (Irak) tiba di Makkah. Tanpa disadari, beberapa dari mereka adalah carrier kolera. Setelah itu, beberapa kasus kolera mulai terjadi di Makkah. Selain Irak, India menjadi daerah lain yang diduga sebagai muasal penyakit itu di Kota Suci.
Kohn mengatakan, kuat dugaan setengah jamaah haji di Makkah terinfeksi kolera saat itu. Jumlahnya mencapai ribuan orang, termasuk gubernur Makkah dan Jeddah. Adapun korban wafat mencapai tiga ribu orang, yakni dari jamaah haji. Jumlah jenazah begitu banyak, sedangkan tenaga untuk memakamkannya tak sebanding di Hijaz. Maka, pemakaman massal pun jadi pilihan.
Makkah masih didera wabah kolera tiap musim haji hingga tahun 1912. Dalam periode itu, tahun 1865 menjadi yang terparah. Kohn menjelaskan, waktu itu, wilayah-wilayah seperti India dan pesisir Laut Merah diduga kuat menjadi muasal wabah kolera. Alhasil, jamaah haji yang berasal dari sana secara tak sadar menjadi carrier. Belakangan, kalangan sejarawan menunjuk rute Pulau Temasek (Singapura)-Bombay (India).
Hal ini berdasar kan pengakuan nakhoda kapal Persia and North Wind saat itu di hadapan konsulat Inggris di Jeddah. Kolera tak merebak sampai kapal itu meninggalkan Pelabuhan Malaka. Lepas dari perdebatan ihwal daerah asal wabah, epidemi itu pada faktanya berimbas besar di Kota Suci. Sekitar 30 ribu orang atau setara sepertiga dari total jamaah haji waktu itu wafat karena terinfeksi kolera.