REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Hubungan Makkah dan Nusantara semua tahu sempat terjadi polemik. Apalagi ini terkait soal kedatangan Islam di Nusantara. Teori Belanda yang klasik diajarkan pada sekolah-sekolah dahulu ada teori Gujarat. Islam katanya dibawa oleh para saudagar asal kota yang terletak di kawasan pantai India itu.
Tapi ada juga yang berkata lain. Entah mengapa karena ada orang yang menyita sebuah arsip di klenteng Cina, kemudian dikatakan ajaran Islam dari Cina. Bahkan ada ahli seperti Slamet Muljana yang kemudian sampai berani mengambil kesimpulan bila para wali Songo itu adalah berasal dari Cina. Jadi Islam seolah datang ke Indonesia dari Cina, setelah sebelumnya datang dari Makkah atau tanah Arabia. Ksah ini kemudian juga eksis dalam buku 'Tuanku Rao' karya Mangarja Onggan Parlindungan.
Dua teori itu kemudian dibantah oleh Buya Hamka dalam sebuah seminar tentang kedatangan Islam di Nusantara pada tahun 1970-an. Dalam seminar itu dipatahkan teori Islam datang dari Gujarat dan Cina. Bahkan, dalam perkembangan terbaru dalam disertasi Prof DR Azyumardi Azra dikatakan relasi Nusantara dengan Makkah memang terindikasi sudah sangat lama, yakni semenjak abad ke 7. Ini terkait dengan kehadiran orang Timur Tengah (Persia) di Palembang.
Tapi yang dibahas kali ini adalah bukan soal kedatangan Islam di Nusantara, melainkan soal orang Indonesia yang pada abad 17 bermukim di Makkah. Dan terkait kiaah ini ada kisah yang menarik dari buku ‘Naik Haji Di Masa Silam’ karya Henri Chambert-Loir yang terdiri dari tiga jilid itu. Buku ini sangat penting untuk membahas berbagai hal dari pernak-pernik sejarah haji di masa silam sampai kini. Meski Henri adalah orang asing, yakni Prancis, dia ternyata dia begitu perhatian pada soal-soal yang terjadi di Indonesia, termasuk soal haji dan tanah suci.
Keterangan Foto: Henri Lambert-Loir. (foto koleksi Komunitas Bambu).
*****
Ketika berkisah soal para mukimin Indonesia di Makkah pada abad ke 17, Henri menuis begini:
Orang Indonesia yang bermukim selama bertahun-tahun di Makkah untuk belajar, kala itu banyak sekali jumlahnya. Sedini abad ke-17 kita mengenal beberapa ulama tersohor yang pernah menjadi mukimin itu, termasuk Abdurrauf al-Sinkili dan Syekh Yusuf al-Makassari. Satu abad kemudian terdapar emat sekarawan, Muhammad Arsyad al-Banjar, Abdul Wahab al-Bugisi. Abdurrahman al-Misri, dan Abdul Samad al-Palimbani.
Meninjau ‘nisbah’ keenam ulama tersebut, mereka jelas berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Para mukimin di Tanah Suci, atau yang dalam sumber Arab disebut sebagai ‘Jama’at al-Jawiyyin’ sebagai sebuah kelompok yang amat berpengaruh atas kehidupan beragama di Indonsia.
Tanah Arab dan lebih spesifiknya Makkah adalah juga sumber pengetahuan dalam bentuk kitab dan fatwa. Teks Sulat al-Salatin menyebut sebuah kitab yang berjudul ‘Duur Maznum’ yang diterima oleh Sultan Mansyur Syah dari Makkah: kitab ini langsung dikirimkan oleh Sultan ke Pasai supaya dibahas atau barangkali diterjemahkan. Raja Banten keempat, Abu al-Mufakhir mengirim utusan ke Makkah sekitar tahun 1936 untuk meminta penjelasan tentang tiga karanan yang rupaya dapat diindentifikasi sebagai ‘Nasehat al-Muluk’ karya Imam al-Ghazali, ‘Al Muntahi’ karya Hamzah Fansuri dan sebuah teks doktrin ‘wahdat al-wujud’. Utusan tersebut pulang dari Makkah tahun 1638 sambil membawa jawaban Makkah berupa karangan Ibn Alan al-Siddiq.
Demikian juga di Aceh tiga puluh tahun kemudian, Aburrauf al-Sinkili, yang telah pulang ke Aceh, menyampaikan kepada gurunya di Madinah, Ibrahim al-Kurani, sekitar tahun 1665, sebuah pertanaan tentang doktrin ‘wahdat al-wujud’ yang telah puluhan tahun duperdebatkan di kalangan Istana Aceh. Sebagai jawaban al-Kurani menulis sebuah kitab berjudul ‘Ihtaf al-dhaki.