REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Dalam buku ‘Naik Haji Di Masa Silam’ karya Henry Chambert-Loir dikisahkan tentang sebuah syair amat pendek yang pernah dimuat dalam korab ‘Bintang Soerabja’ tanggal 18-19 Desember 1880.
Uniknya, ejaan yang digunakan serta tanda tangan tiga huruf dapat memberi kesan bahwa pengarangnya seorang Peranakan. Namun, kedua petunjuk tidak memadai. Ejaan tersebut (misalnya ‘gilo goemi lauw’ untuk ‘kilau kemilau’ sebenarnya digunakan dalam berbagai sajak popular masa itu, bukan oleh penulis Tionghoa saja.
Syair Mekah yang terakhir ini diedit di bawah ini berdasarkan salinan tangan yang dibuat oleh Prof. Claudine Salmom tahun 1992. Larik-larik syairnya diset dua per baris di bawah ini (seperti biasa dalam syair-syair masa itu) meskioun dimuat satu persatu per barik dalam Koran ‘Bintang Soerabaja’.
- Keterangan foto: Suasana di dalam Masjidil Haram tahun 193
Mari kita nikmati keunikan sebagian Syair Mekkah yang ditulis pada tahun 1889 itu:
Bismilah moelai disebut
Doenia achirat tida loepoet
Alhamdoelillah poeji jang dakik
Selawatken Nabi Rosoel jang sidik
Aman bakdoe ini lah mala
Sebab bertjinta siang dan malam
Dengerken toean soetoe tjerita
Atipoen soesah si mata-mata
Sebelas malem doedoek di Joedah
Di sewa onta bareng jang moedah
Semalem sampai ke Meka
Kemudian tawab koeliling Kakbah
Hande dan toen baik dengarken
tiada boleih saia perikenen
Masjidl Charam piker kabarken
Indahnya tiada dapat di mitsalken
Masjidil Charam terlaloe adjaib
Dihimpoenken doenia kerib dan baik
Boewaran Radja Aroel arasit
Tiadalah doea hanjalah waib
Setengah bolet roepanya idjauw
Berkoeliling koeliling bertandjoeng poelauw
Di tempoek panas gila goemi laiw
Tengah tengahnja di pandeng silauw
Atas Masjid terlaloe indah
Di pandeng djaoeh di sangka pilah
Baotoe berapet bagi ditatah
oepama pajung berkembang soeda
……………….