REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) mengaku, tak mempermasalahkan jika Arab Saudi memiliki rencana membuka penyelenggaraan haji dengan skenario terbatas di tengah pandemi. Rencana itu disampaikan sumber media asing Reuters.
Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi mengatakan, diselenggarakan atau tidaknya haji tahun ini, menjadi kebijakan Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Negara di luar Saudi wajib menerima apa yang menjadi keputusan Saudi.
"Syah-syah saja untuk Kerajaan Arab Saudi (KSA)," katanya saat dihubungi, Selasa (9/6).
Syam memastikan, pihak asosiasi haji dam umrah termasuk Pemerintah RI tidak bisa intervensi atas kebijakan KSA terkait haji. Sekalipun Makkah Madinah tempat ibadah bersama umat Islam dan haji merupakan syariat umat Islam yang harus dijalankan setiap tahunnya di wilayah KSA.
"Mereka yang punya negara, apapun keputusannya milik mereka," katanya.
Syam Rersfiadi mengatakan, jika sumber media asing itu benar, bahwa KSA memiliki rencana membuka haji dengan skenario terbatas, maka tetap berbayar meski dibuka hanya untuk penduduk setempat.
"Jika iya tetap berbayar bagi penduduk lokalnya. Karena persiapan kelengkapan Haji Arafah dan Mina memerlukan biaya," katanya.
Selama ini, kata Syam, penduduk lokal untuk bisa mengikuti rangkai ibadah haji di Arafah dan Mina membayar sekitar 10 ribu Saudi Rial perjamaah. Kata dia jika penduduk lokal saja berbayar maka selain penduduk lokal pasti bayar dengan nilai yang lebih mahal untuk haji.
"Mereka membayar SR 10.000 perkrang untuk bisa berhaji dengan fasilitas pelayanan Arafah dan Mina," katanya.