Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika dan Pengamat Haji
Masihkan Indonesia menunggu pelaksanaan pelayanan jamaah haji 2020? Jawaban atas pertanyaan ini masih menggantung. Apalagi ada anggota DPR yang masih melihat kemungkinan bahwa layanan jamaah haji tahun ini masih mungkin bisa dilakukan, meski terbatas. Tapi apa masalahnya sederhana itu.
Melalui perbincangan dengan salah satu pengusaha travel haji yang selama ini bermukim di Makkah dan baru saja pulang beberapa hari sebelum lebaran, Muharom Ahmad, mengatakan, kalau mungkin ya memang mungkin. Sebab, dunia serba mungkin, tidak ada yang pasti.
Tapi katanya, yang jelas ibadah haji di tanah suci tetap akan ada walau sifatnya hanya terbatas. Pemeirntah Arab Saudi pun tampak akan membatasi bila layanan jamaah haji tahun 2020 ini hanya untuk warga domestik dan juga terbatas. Apalagi diketahuo pula warga Makkah-Madinah atau Arab Saudi misalnya, selama ini memang tak bisa berangkat haji seenaknya yakni setiap tahun, mereka juga harus ikut antrain dan terdaftar melalui biro perjalanan haji yang ditunjuk.
‘’Yang paling susah adalah kalau teknis penyelenggaran layanan jamaah haji Indonesia yang jumlahnya sangat besar sampai 230 ribu orang. Ini bagaimana cara mengangkutnya. Itu baru satu soal, apalagi penerbangan internasional gara-gara pandemi Corono dibatasi hanya sampai 40 persen saja. Jadi untuk jamaah haji biaya penerbanganya saja sudah berlipat-lipat. Belum berbagai segi soal teknis lain. Ingat waktunya sudah sangat mempet, Musim haji dimulai tiga pekan lagi,’’ katanya.
Contoh soal lagi misalnya yang tampak sepele tapi punya implikasi serius. Ini misalnya bila ada sepasang suami isteri yang selama ini sudah mendaftar, membayar, dan menabung biaya haji dalam waktu yang lama –- sampai puluhan tahun—tiba-tiba batal gara-gara salah satu orang diteksi posiitif Corona, bagaimana perasaan salah satu di antara mereka? ‘’Ingat mereka selama ini berjuang untuk pergi haji bersama. Kemudian di batalkan. Bagiamana perasaanya. Apalagi usia mereka sudah sepuh semua?”
Tak hanya itu, soal berbagai macam kendala teknis memang jelas banyak sekali halangannya bila pelayanan ibadah haji tahun ini tetap dilaksanakan, meskipun pemerintah Arab Saudi nantinya membuka adanya haji untuk jamaah dari luar negeri. Na, bila nanti akan dilakukan seleksi apa dasarnya dan jelas akan membuat banyak kekecewaan pihak yang tidak bisa berangkat.
Lagi pula, bila calon jamaah haji pada tahun ini bisa dikirimkan ke tanah suci dengan konsekuensii si-jamaah bersedia membayar ongkos naik haji meski harga berlipat dan mahal sekali, maka ini pun akan menerbitkan rasa cemburu dari pihak calon jamaah haji yang berkantong biasa. Mereka seolah merasa percuma karena kesabarannya menunggu giliran naik haji dibatalkan dengan begitu saka atas dasar uang.
Alhasil, bila melihat polemik ini memang mau tidak mau –bahkan semenjak dahulu – soal ibadah haji terbukti selalau terkait dengan soal politik. Inilah yang banyak tidak dipahami bahwa yang dimaksud dengan syarat wajib berhaji bila mampu (istita’ah) tidak hanya soal kesiapan dukungan ekonomi, jasmani dan rohani saja. Istita’ah haji ternyata terkait dengan soal politik, misalnya jaminan keamanan dalam perjalanan, jaminan kesehatan, pengaturan, dan lainnya. Dalam hal ini memang mau tidak mau tetap ada campur tangan negara, khusunya negara tempatan, yakni Saudi. Peran negara ini pun pada zaman silam sudah dilakukan oleh berbagai dinasti dalam kekuasaan politik Islam, dari zaman Muawiyah hingga zaman Ottoman.
*****
Namun, memang dalam kasus pembatalan pelayanan haji oleh pemerintah tahun 2020 terasa ada hal yang kurang pas. Entah mengapa pemerintah terkesan melakukan kerja ‘selonong boy’ tanpa menggandeng DPR. Padahal keputisan ini misalnya bisa dibicarakan dengan mereka. Lagi pula adanya pembatalan pun di mata publik Muslim Indonesia diawasi secara ketat karena terkait soal penggunaan dana haji yang selama ini telah terkumpul hingga mencapai sekitar Rp 130 triliun itu.
Jadi, masih beranikah Indonesia memberangkatkan jamaah haji tahun ini? Sebab, bagi Saudi pembatalan kedatangan jamaah haji juga menjadi kerugian finansial yang sangat besar. Dengan jumlah jamaah haji yang setiap tahun mencapai sekitar 2,5 juta jamaah, Saudi akan meraup dana segar sekitar 12 miliar dolar. Ini jelas dana yang sangat besar.
Meski begitu, Saudi pun harus berhitung ulang meski ada peluang mendapatkan uang sebesar itu. Melayani jamaah haji sama sekali tak mudah. Bisa dibayangkan betapa susahnya mengatur orang sebanyak itu saat wukuf atau mabit di Mina dalam musim haji di tengan pandemi wabah, padahal pada haji di tahun 'biasa' selalu dalam situasi yang sangat padat berdesakan.
Implikasinya dalam situasi pandemi Corona bila kemudian pada musim haji jamaah banyak terpapar virus ini dan apalagi jamaah haji Indonesia sebagian besar berusia tua dan ‘berisiko tingggi’, ajang haji akan dituduh sebagai ‘cluster raksasa baru’ dari pandemi wabah Corona. Saudi pun pasti tak akan terima bila dituduh itu. Ingat tuduhan pejoratif di masa lalu hingga kini masih terngiang, yakni haji dianggap orang non Islam sebagai sarang wabah berbagai pandemi, misalnya kolera.
Keseriusan Arab Saudi akan situasi ini sampai kini masih terlihat jelas. Kota Makkah misalnya masih dinyatakan sebagai kota tertutup. Berbeda dengan kota lain di Saudi, di Makkah masih berlangsung jam malam.’’Pergerakan penduduk Makkah masih dibatasi. Mereka tak bisa leluasa masuk dan keluar kota itu. Apalagi orang dari luar, pasti mereka dilarang masuk. Jam malam dari jam selepas Ashar hingga pukul 09.00 pagi pun masih berlaku.”
Akhirnya, apakah mungkin calon jamaah haji dari Indonesia tahun ini masih akan diberangkatkan ke tanah suci?
Wallahu’alam