Jumat 10 Jul 2020 12:47 WIB

Ke Italia, Menikmati Suasana Kanal Kuno Venezia

Beginilah rasa ke kota pelabuhan tua Venezia

Tambatan perahu sebelum masuk ke kanal pelabuhan tua Venizia, di Italia.
Foto: Muhammad Subarkah
Tambatan perahu sebelum masuk ke kanal pelabuhan tua Venizia, di Italia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Udara terasa suam-suam kuku ketika pesawat yang ditumpangi kami menapaki landasan kota Venezia, di Italia. Cuaca tak terlalu dingin dan panas. Mirip udara kawasan Puncak Bogor pagi hari.

Perjalanan panjang dari Jakarta dengan singgah di bandara Turki di Istanbul lalu sudah. Tak terbayangkan hari sudah berlalu. Jadi kami baru paham bahwa kami ngendon di pesawat hampir dua puluh jam. Apalagi belum tersuruk diberbagai bandara  karena harus transit. Persis kaum imigran atau pengungsi selalu sibuk dorong koper ke sana-sini dan tidur ayam di bangku bandara.

Berbeda dengan Bandara Istanbul yang megah dan luas, bandara Venezia yang diberi nama Marco Polo, cukup mungil. Mungkin sebesar bandara baru Yogyakarta. Bedanya hanya ada tempat parker yang ringan dan banyak pohon menghijau. Beda dengan bandara baru Jogja yang terasa gersang.

Setelah turun kami maju dalam antrian imigrasi. Cukup lama. Dan kami beruntung, ada pemisahan loket antara warga asing dan warga Italia. Meski begitu antrean memakan waktu hampir satu jam.

Setelah paspor di stempel kami menuju tempat pengambilan bagasi. Ternyata ini pun berlansung cukup lama. Sembari menunggu bagasai ke datang waktu luang dimanfaatkan untuk menukar uang dan makan. Kini kami benar-benar asing, menyendiri diantara para bule. Kalau di Jogja  dulu kami pandangi orang asing, kini gentian kami dipandangi dari ujung kepala sampai kaki, seolah makhluk alien.

Venice Marco Polo Airport Passenger Terminal Refurbishment and ...

                      ******

Usai koper kembali di tangan, kami pun berjalan ke luar bandara. Tiba-tiba sebelum ke luar ada petugas bandara memanggil dan mencegat langkah kami. Dia kemudian bertanya:

‘’Anda turis’’ tanyanya.

‘’Iya, ada apa?”

“Mau ke mana?”

"Venezia,’’ jawab saya lagi.

“Punya uang berapa?”

“Banyak. Saya akan senang-senang di sana,’’ jawab saya sembari tersenyum.’’Ini kartu kredit saya. Silahkan cek berapa limitnya,’’ jawab saya agak kesal dan sedikit sombong (saya merasa harus sombong kepada Bule saat itu. Ingat moyang saya selalu dijajah bule).

Dalam soal ini saya trauma karena kerap dianggap pencari kerja seperti pernah dialami di bandara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Abu Dhabi. Dan dari seorang teman saya dibisiki, jangan  pakai pakain batik karena nanti dianggap TKI.’’Pakai kaos dan sepatu yang bagus. Sebab, bagi orang asing sepatu itu dianggap sebagai ukuran orang ini punya duit atau tidak. Mereka tidak terpaku pada pakaian, beda dengan kita. Dan jangan minder,’’ ujar seorang teman.

Dan resep dia ternyata saat itu ampuh dengan melenggang bebas ke luar bandara Venizia. Di luar ada teman dari Belanda yang berdarah Turki, Edin, yang menunggu. Dialah kepala rombongan yang mengarahkan kami selama dua pekan untuk memutari wilayah Itali dan Balkan. Arah kunjungan pertama tentu kota dagang tua semasa kejayaan Islam menguasai peradaban Eropa, yakni Venezia.

Dengan menumpang bus kami ke sana. Dalam perjalanan kami menjadi sadar bahwa pedalaman  Eropa ini – kota Venesia – sebenarnya kota kecil di pinggir pantai yang berada di kampong hijau. Penduduknya tak banyak. Namun, suasana asri khas Eropa. Rumah penduduk tertata. Taman kota pin rapi. Jalanan tak hirup pikuk. Angkutan trem tersedia. Bayangannya persis kota Temanggung atau Solo meski dengan catatan penduduknya jarang dan tak hirup pikuk dengan mobil dan sepeda motor.

Setelah berapa lama dalam bus dan melewati kawasan pantai sampailah kami ke kawasan pintu masuk ke pelabuhan Venezia. Entah kenapa, beberapa kali sopir bus bule kami yang asal Belgia, ke luar masuk tempat itu. Kami merasa pasti ada masalah. Lalu apa?

Setelah saya tanya kenapa bus bolak-balik dan maju mundur masuk ke area pelabuhan, dia menjawab singkat. Dia hanya menjawab singkat ada masalah dengan petugas parkir dan tiket.  Uniknya sembari menjawab begitu dia terlihat menjetikan ibu jari dan telunjuknya di dekat telinga.’’Money”, katanya singkat. Sontak kami  pun tertawa ngakak. Italia memang tak beda dengan Indonesia, sama-sama penuh ‘mafia’.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement