REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki nama lengkap Muhammad Khatib ibn Abd Al-Ghoffar Al-Sambasi Al-Jawi. Beliau merupakan pendiri Tarekat Qadariyah dan Naqsabandiyyah (TQN).
Dikutip dari buku Tarekat Qadariyah Naqsabandiyah : Studi Etnografi Tarekat Sufi Indonesia karya Emawati dkk, Syekh Ahmad Khatib Sambas lahir pada tahun 1217 H (1802 M) di Sambas, Kalimantan Barat.
Syekh Ahmad Khatib Sambas kecil mendapatkan pendidikan agama dari pamannya yang merupakan tokoh agama di Kesultanan Sambas pada waktu itu. Sejak kanak-kanak, Syekh Ahmad Khatib Sambas terkenal sebagai santri cerdas dan memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan teman-teman sebayanya.
Pada suatu ketika, saat Syekh Ahmad Khatib Sambas kecil menemani pamannya mengambil air wudhu untuk sholat Tahajud. Lalu pamannya membuka songkok putih dari kepalanya dan meletakkan di ujung kayu yang terletak di pemandian.
Ketika pamannya sedang tertunduk mengambil air wudhu, tiba-tiba Syekh Ahmad Khatib Sambas melihat songkok putih pamannya melayang terbang sedangkan pohon-pohon kayu di sekitarnya seolah sujud.
Pamannya yang wara’ itu paham bahwa pada saat itu terjadi peristiwa Lailatul Qadar. Pamannya berdoa agar keponakannya ini dijadikan Allah sebagai wali-Nya. Sejak saat itu, tabiat Syekh Ahmad Khatib Sambas banyak menampakkan keistimewaan, sebagaimana layaknya seorang wali.
Saat Syekh Ahmad Khatib Sambas menginjak usia dewasa. Dikutip dari buku Akulah Debu Di Jalan Al-Musthofa karya Tri Wibowo BS, usia Syekh Ahmad Khatib Sambas saat itu menginjak 19 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas pergi berhaji bersama ayahnya.
Setelah melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak turut pulang bersama ayahnya. Ia memilih bermukim untuk melanjutkan pendidikan agamanya. Sejak saat itu juga Syekh Ahmad Khatib Sambas menetap di Makkah hingga akhir hayatnya. Syekh Ahmad Khatib Sambas meninggal pada 1872 M.
Saat mulai menempuh pembelajaran di Makkah, Syekh Ahmad Khatib Sambas sempat diragukan ilmunya. Sebagaimana dituliskan dalam buku Tarekat Qadariyah Naqsabandiyah : Studi Etnografi Tarekat Sufi Indonesia , suatu hari ia pergi ke Masjidil Harom di sekitar Halaqah ulama-ulama besar bangsa Arab yang sedang mengajar. Ulama-ulama itu memintanya pergi meninggalkan Halaqah mereka karena menurut mereka, Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak akan sanggup mengikuti pelajaran tersebut.
Peristiwa tersebut diketahui oleh Syekh Dawud ibn Abdullah Al-Fatani. Menurut firasatnya, Syekh Ahmad Khatib Sambas akan menjadi orang besar di kemudian hari. Lalu ia pun memanggil pemuda yang tengah bersedih itu dan membawanya tinggal di rumahnya dan diberikan pendidikan secara intensif.
Keputusan itu tidak pernah disesali Syekh Dawud ibn Abdullah Al-Fatani. Karena terbukti ilmu yang dipelajarinya menghabiskan waktu 30 tahun namun hanya diselesaikan Ahmad Khatib Sambas dalam waktu tiga tahun. Syekh Dawud Al-Fatani berpandangan bahwa muridnya ini telah layak mempelajari ilmu-ilmu kesufian. Maka Syekh Dawud Al-Fatani merekomendasikan muridnya itu untuk mendapatkan bai’at kepada Syekh Syams Al-Din.
Dari seluruh murid Syekh Syams Al-Din, Ahmad Khatib Sambas mendapatkan derajat yang tinggi, sehingga ketika gurunya meninggal tempatnya digantikan oleh Ahmad Khatib Sambas. Sejak saat itu Ahmad Khatib Sambas telah dilantik menjadi Syekh Mursyid Kamil al-Mukammil dalam lingkungan Tarekat Qadariyah.
Menurut Tri Wibowo dalam bukunya, Syekh Syams Al-Din atau Syamsuddin sangat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib. Guru-gurunya yang lain adalah syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Mursyid Tarekat Sammaniyah), syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Al-Marzuqi, Sayyid Abdullah bin Muhammad Al-Mirghani dan Utsman ibn Hasan Al-Dimyati.
Karya satu-satunya adalah kitab Fath al-‘Arifin, yang digunakan sampai sekarang. Di dalam kitab ini berisi tentang, pelaksanaan dzikir dalam Tarekat Qadariyyah dan Naqsabandiyyah. Penyebaran tarekat ini dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangannya itu.
Banyak muridnya yang berasal dari Indonesia juga. Seperti diketahui, Syaikh Ahmad Khatib Sambas tidak menyebarkan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah ke Indonesia sendiri, melainkan, penyebaran Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah disebarluaskan oleh murid-murid dari Nusantara yang belajar kepadanya.
Semasa hidupnya, Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak wakil, namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh syekh Abdul Karim Al-Bantani.
Syekh Ahmad Khatib Sambas menetap di Makkah dan menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu. Dari penikahannya ini dikaruniai tiga orang anak putra dan putri, yakni Yahya, Siti Khadijah dan Abdul Gaffar. Dari tiga orang anak, Syaikh Ahmad Khatib Sambas ini kemudian mempunyai keturunan dan beranak cucu, hingga di antara keturunanya itu sekarang banyak tinggal di Singkawang, Kalimantan Barat. Sedangkan, mereka yang tinggal di Singkawang diperkirakan keturuan kelima dan keenam.