REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Proses hukum jamaah korban First Travel (FT) menemui babak baru setelah terpidana kasus penipuan jamaah First Travel Andika Surachman mengajukan peninjauan kembali (PK). Upaya hukum luar biasa ini merupakan proses hukum terakhir sebagai upaya mengembalikan hak jamaah yakni diberangkatkan atau uang dikembalikan.
Bermacam upaya telah dilakukan jamaah korban bos Travel untuk mendapatkan haknya. Namun, bermacam upaya yang dilakukan jamaah baik secara individu maupun kelompok tak membuahkan hasil. Terakhir proses hukummya, Pengadilan Negeri Depok memutuskan asset milik bos Travel dirampas negara.
Menyedihkannya, sedang memuncaknya jamaah semangat merebut hak, kuasa hukum jamaah korban First Travel yang menamakan Perkumpulan Jamaah korban FT (PAJAK FT), Riesqi Rahmadiansyah meninggal misterius. Meski tanpa kehadiran Reisqi sebagai pengacara, jamaah tetap berjuang untuk menuntut haknya meski tanpa kuasa hukum yang mendampinginya.
Jamaah yang berkelompok dalam nama PAJAK FT berkali-kali hadir mengikuti persidangan. Proses hukum yang terakhir sebelum PK adalah PAJAK FT menggugat secara perdata intansi yang menguasai asset Andika yakni Kejaksaan Negeri Depok ke Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat.
Mengetahui proses hukum menemui babak baru yakni PK, anggota PAJAK FT H Slamat Subekti mengingat masa-masa ketika dia masih semangat mengejar hak agar bisa diberangkatkan atau uang dikembalikan. Kini kata dia rasanya sudah tak kuat lagi konsolidasi dengan sesama jamaah korban First Travel dan harus bolak balik dari kediamannya di Ciracas Jakarta Timur ke tempat sidang PK. "Harapannya saya ingin diberangkatkan meski sudah tua," katanya.
Slamat merupakan jamaah korban First Travel yang mengaku selalu hadir mengikuti proses persidangan, baik persidangan kasus pidananya maupun terakhir kasus perdatanya. Kini, semangat perjuangkan hak tak mungkin dapat dilakukan lagi karena usianya tak lagi muda.
Slamet mengatakan, masih semangatnya mengejar hak, karena banyak dorongan dari sodara dan koleganya, agar tetap semangat memperjuangkan hak. Meski ia tahu hak itu sulit didapat karena asset selain sudah berceceran juga sudah menyusut nilainya karena lama disimpan di Kajaksaan.
"Saya banyak yang dorong mulai dari sodara dan teman-teman untuk maju terus jangan kendor," kata H Slamet Subkti saat diminta tanggapannya terkait PK.
Slamet mengatakan di usianya yang sudah menginjak 72 tahun, seharusnya sudah tak direpotkan dengan masalah-masalah yang menguras waktu dan tenaga. Namun, demi keadilan dan solidaritas sesama jamaah korban FT, Slamat selalu hadir dalam setiap persidangan.
"Maka dari itu, saya dan teman-teman (korban First Travel) yang gabung di PAJAK FT, meski tanpa kuasa hukum saya selalu hadir sidang (Sidang Perdata). Saya berangkat naik motor dari rumah di Ciracas Jakarta Timur," katanya.
Slamet mengatakan, hal itu ia lakukan, sebagai simbol perjuangan demi mendapat haknya meski pesimis aset FT yang dikuasi negara dapat diberikan kepada jamaah tanpa syarat. "Saya pribadi bukan masalah uangnya tapi demi keadilan dan rasa kemanusian saya tetap memperjuangkan hak yang seharusnya jamaah korban FT dapatkan," katanya.
Slamet menuturkan, demi mendapat keadilan, Selain ikhtiar dan doa, semua upaya hukum sudah ditempuh jamaah korban FT. Saat ini ia menunggu satu kali lagi proses hukum terakhir yakni peninjauan kembali apakah akan menang atau kandas pula. "Apapun putusannya saya pasrah sudah lelah," katanya.
Menurutnya, semua fasilitas negara di bidang peradilan tak berpihak kepada jamaah korban FT. Hal itu terlihat setelah hakim pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis FT Andika Surachman dipidana, namun aset Andika tak dibagikan kepada jamaah tapi disita negara.
Slamet menambahkan, selain pengadilan pertama tak berpihak kepada jamaah, pengadilan tingkat banding dan kasasi juga tak berpihak kepada jamaah hal itu terlihat dari putusannya yang menguatkan pengadilan pertama bahwa asset bos FT tetap harus dirampas negara. "Kenapa harus dirampas negara itukan asset FT. FT punya aset dari hasil nipu jamaah," katanya.
Daftar Umrah
Slamet menceritakan sebelum memutuskan daftar Umroh melalui First Travel (FT), terlebih dahulu bertanya kepada beberapa orang yang pernah menggunakan FT sebagai perjalanan umroh, termasuk adik kandungnya yang bekerja di salah satu Pengadilan Tinggi di Jakarta ia tanyakan untuk testimoni.
Slamet mengaku mencium ketidak beresan manajemen FT dalam memberangkatkam umrah. Hal itu setelah mendengar kabar dari adiknya mendaftar tahun 2015 namun baru diberangkatkan pada tahun 2016. "Itu juga melalui agen sampai ngotot minta diberangkat," katanya.
Namun, meski telah mencium gelagat tak baik dalam sistim keberangkatan di FT, Slamet tetap memutuskan menggunakan FT untuk perjalanan umrahnya. "Saya daftar 2016 dijanjiin berangkat tahun 2017," katanya.
Namun, janji diberangkatkan tahun 2017 itu gagal. Malah minta tambah biaya dua kali lipat jika ingin diberangkatkan di bulan Ramadhan tahun 2017. Meski telah membayar tapi tetap tidak diberangkatkan.
Slamat menceritakan, pada tahun 2016 pertama membayar umrah ke agen FT di Simatupang itu sebesar Rp 14.300.000, lalu admin FT melalui emal minta tambahan lagi sebesar 3.100.000. Jadi total yang sudah dibayarkan ke agen FT di Simatupang untuk bisa berangkat di tahun 2017 jadi sebesar Rp 17.400 .000.
Akan tetapi tahun 2017 tidak juga diberangkatkan dan admin malah minta nambah lagi sebesar Rp 2.565.000 supaya bisa berangkat di bulan Ramadhan tahun 2017. Namun, tetap tak bisa diberangkatkan. "Jadi total uang saya semua 19. 965.000 dibayarkan ke FT yang kejam," katanya.
Slamet menceritakan, karena merasa ditipu akhirnya jamaah sesama korban FT berkumpul mencari kuasa hukum. Katanya setelah pencarian kuasa hukum mentok dibiaya, akhirnya jamaah dipertemukan dengan anak muda yang mengatakan siap membantu jamaah tanpa tedeng aling-aling. "Akhirnya saya ikut beberapa laywer di bawah koordinator alm mas Riesqi yang berani membela nasib korban FT," katanya.
Slamet memastikan, meski Riesqi sudah meninggal dunia. Slamet akan terus berjuangan sampai benar-benar tak ada yang bisa diperjuangkan lagi. Kini, perjuangan Slamet bukan berharap supaya dapat kembali uang. Akan tetapi bentuk solidaritas antara sesama korban FT.
"Maka dari itu saya akan terus berjuang kasian kawan-kawan korban FT ada yg 10 jamaah ada yang empat ada yang 130 jamaah. Saya hanya satu saja," katanya.
Slamet yang pernah mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Keluarga Sakinah Teladan 1 tingkat Nasional ini mengaku sedih uang pensiunannya masuk ke FT tanpa menerima manfaat apapun. "Berasa benar uang itu boleh ngumpulin dikit-dikit, maklum penisunan PNS Kemenpora sebelumnya saya bekerja di Depdiknas," katanya.
Slamet berharap sidang PK dengan agenda dapat menggerakan hati majelis hakim untuk mengambulkan PK. Sehingga perjuangan Riesqi selama hidupnya tidak sia-sia. "Mudah-mudahan aset FT khususnya di bawah laywer alm Mas Riesqi bisa cair dan diperhatikan. Walaupun mereka telah tiada."