REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Piza, makanan asal Italia itu memang masih asing di lidah sebagian masyarakat Indonesia. Sejak masa Yunani kuno, jenis makanan ini sangat digemari di Italia. Piza banyak ditemui di pasar. Dan, piza naik pamor menjadi makanan berkelas saat Ratu Italia Margherita dari Savoy terpikat secara tidak sengaja dengan roti yang dijajakan di pasar rakyat itu.
Ia meminta koki Neapolitan Raffaele Esposito menciptakan “Pizza Margherita”. Hingga kini, piza bisa diperoleh di berbagai Pizzeria atau kedai-kedai penjual piza. Pun, dengan beraneka ragam cita rasa.
Makanan yang berupa roti, keju, dan berbagai topping ini disajikan di restoran tertentu. Rasanya enak dan dapat dimakan kapan saja, untuk makan siang hingga makan malam.
Restoran piza di Tanah Air kini juga menyajikan menu makanan lain yang sesuai dengan selera orang Indonesia. Bagi Muslim sendiri, bagaimana titik kritis halal piza?
Menurut dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Anna Roswiem, titik kritis halal piza cukup kompleks sebab ia terbuat oleh beberapa bagian. Namun, secara umum tiga unsur utama yang mesti dicermati dari bahan dasar pizza, yaitu roti, keju, dan topping. “Piza agak kompleks, ada banyak macam yang bisa dikritisi,” ujarnya.
Pertama, roti (dough). Roti mengandung bahan pengembang, termasuk ragi. Ragi ini ada yang terbuat dari bahan yang halal, ada juga yang tidak. Kedua, keju. Keju berasal dari susu sapi yang halal, komponennya terdiri atas protein, lemak, dan karbohidrat.
Namun, dalam proses pembuatan dan pengolahan hingga menjadi produk keju yang berkualitas, diperlukan bahan tambahan. Bahan tersebut, ada yang berasal dari zat halal dan ada pula dari bahan haram. Komponen protein, lemak, dan karbohidrat tadi harus melewati proses penggumpalan yang biasanya menggunakan asam atau enzim. Selama asam atau enzim itu berasal dari bahan yang halal maka keju tersebut juga halal. Demikian pula sebaliknya, bila enzim diperoleh dari zat haram maka keju bisa berubah haram.
Ketiga, topping. Topping ini banyak macamnya. Ada sayuran, daging sapi, tuna, sosis, atau daging asap. Daging-daging ini tentu harus diketahui sumbernya, halal atau tidak. Dan, tentu bagaimana sembelihannya.
Sedangkan untuk sosis, biasanya ada dua macam. Yang pertama sosis siap saji yang bisa langsung dikonsumsi dan ada pula produk sosis mentah yang dibungkus dengan selongsong sosis yang sangat tipis. Pembungkus tersebut bisa berasal dari plastik atau bahan tambahan lain, seperti gliserin yang berasal dari lemak hewan.
Sedangkan sosis yang langsung dimakan, pembungkusnya terbuat dari kolagen yang biasanya terbuat dari kulit hewan. Sejauh manakah status kehalalan sosis yang dijadikan sebagai pelengkap piza, ditentukan dari halal atau tidakkah daging hewan yang digunakan dan tak ketinggalan sesuai dengan syariat atau tidakkah proses penyembelihannya.
Terakhir, saos cabai. Restoran piza biasanya mempunyai saos cabai masing-masing. Namun, ini tidak semuanya halal, tergantung bahannya. Biasanya, agar saosnya stabil, diberi gelatin atau ada yang memakai pengental agar tetap kental. Gelatin inilah yang mesti diwaspadai, terbuat dari bahan apakah, halal atau tidaknya.
Sebaiknya sebagai Muslim, Anna menyarankan, mesti mengetahui apa saja bahan yang digunakan dalam piza berikut status kehalalannya. Anna pun menyarankan supaya memilih restoran cepat saji atau restoran piza yang memang telah mengantongi sertifikat halal. “Agar kita merasa aman,” katanya.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Senin, 05 Agustus 2013