REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejak ditemukan pertama kali oleh Liu An, cucu dari Kaisar Han Gaozu, penguasa Dinasti Han 2.200 tahun silam, tahu adalah makanan favorit yang digemari oleh masyarakat lintas generasi dan lintas kalangan. Pangan yang berasal dari endapan perasan biji kedelai yang difermentasi ini, kaya akan protein dan kandungan gizi lainnya.
Tak hanya di negeri asalnya, China, hokkian, sebutan asli tahu di negara Tirai Bambu ini, populer di belahan dunia. Di Jepang, tahu dikenal dengan tofu. Hanya saja, tekstur tahu yang favorit di negeri Matahari Terbit itu lebih lunak.
Sehingga, sulit untuk dijadikan makanan olahan yang lebih bervariasi. Tahu di Indonesia juga demikian. Tak kalah diminati. Tahu merupakan lauk pokok di samping rivalnya, tempe. Olahan tahu di Indonesia cukup inovatif. Tambahan warna, seperti warna kuning pada tahu kediri, menambah kekhasan tahu. Namun, apakah makanan ini aman dikonsumsi?
Pakar pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Anton Apriyantono, dalam bukunya berjudul Halalkah? menjelaskan, apakah tahu yang notabene lauk tak terlewatkan mayoritas masyarakat di Tanah Air itu patut diwaspadai. Menurutnya, memang secara umum proses pembuatan tahu mirip dengan produksi keju. Keju dibuat melalui sejumlah tahapan seperti pengendapan, pengasaman, hingga pengentalan.
Hanya saja, ada perbedaan yang radikal terkait bahan yang digunakan untuk produksi kedua penganan itu. Dalam pembuatan tahu, tidak digunakan enzim seperti pada pembuatan keju. Tahu dibuat juga tidak memakai bahan dasar susu. Bahan yang dipakai untuk menggumpalkan protein kedelai umumnya adalah kalsium sulfat. Istilah di pasaran sering dikenal dengan siokoh atau batu tahu.
Cara tradisional, ungkap pendiri Komunitas Baik-Halal-Enak ini, juga masih banyak ditempuh oleh para perajin tahu untuk menggumpalkan protein itu. Biasanya media yang digunakan ialah memaksimalkan air sisa perasan gumpalan tahu yang didiamkan selama satu malam. Setelah terbentuk gumpalan protein kedelai, gumpalan itu disaring, sisa cairannya sebagian besar di buang. “Sebagian kecil ditampung dan dibiarkan semalam,” tuturnya.
Biasanya, untuk mempercepat penggumpalan perajin tahu menambahkan cairan hasil peraman malam sebelumnya. Selama semalam, akan terjadi fermentasi asetat secara spontan hingga terbentuk cairan yang asam. Ini bisa digunakan utuk penggumpalan protein kedelai.
Dari segi bahan utama produksi tahu, menurutnya, tak perlu dikhawatirkan. Yang menjadi soal, jika dalam pengawetannya menggunakan formalin. Formalin adalah zat kimia yang tidak boleh dikonsumsi oleh tubuh manusia.
Penggunaan zat ini adalah untuk keperluan pengawetan mayat, pembasmi serangga, hingga pengawet produk-produk kosmetik. Mengonsumsi zat ini tidak direkomendasikan, baik menurut kacamata syariah ataupun kesehatan. “Mengonsumsinya bertentangan dengan prinsip tayib dalam makanan,” ujarnya. Bahan kimia lain yang tidak direkomendasikan dalam produksi tahu ialah pewarna sintetis. Biasanya, berwarna kuning (metanil yellow).
Memang, sebut Prof Anton, jenis tahu yang perlu diwaspadai ialah tahu dari Jepang dengan bahan penggumpalnya berupa glukonodekalakton. Bahan ini terbuat dari glukosa yang dioksidasi. Pembuatan glukosa ini biasanya menyertakan enzim alfa-amilase yang bisa berasal dari mikroorganisme. Sumbernya bisa berasal dari hewan. Ini dikembalikan, apakah hewan yang dimaksud tergolong haram, baik dari jenis ataupun cara penyembelihannya. “Jadi, bisa haram dan tidak,” tulisnya. Ia merekomendasikan mengonsumsi tahu lokal dengan kualitas dan bahan yang telah terjamin.
*Artikel ini sudah dimuat di Harian Republika, Kamis, 28 Maret 2013