REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Cokelat merupakan makanan favorit lintas generasi. Produk olahan dari pohon kakao yang banyak tumbuh di Amazon Utara ini, konon menjadi hidangan dan menu wajib di Istana Spanyol pada awal abad ke-17. Kegemaran mengonsumsi cokelat menyebar hingga kaum elite negara matador tersebut. Lambat laun kudapan lezat ini pun ikut “membius” kalangan menengah ke bawah, termasuk para pedagang. Pada 1657, “virus” cokelat ikut menghinggapi wilayah London. Di tahun yang sama pula berdiri Rumah Cokelat.
Ada banyak jenis olahan cokelat. Mulai dari minuman hingga camilan. Bukan hanya rasanya yang lezat, lumer di mulut, konon gigitan sepotong cokelat memberikan sensasi bahagia. Karenanya, sulit menolak kehadiran kudapan yang satu ini. Cokelat batangan, misalnya, semakin mengundang selera lantaran campuran almond, kismis, kacang mete, dan lainnya. Cokelat pun menjadi teman sarapan setelah diolah menjadi mesis atau makanan pencuci mulut dalam bentuk cake.
Cokelat pada dasarnya halal dikonsumsi karena berbahan dasar kakao. Namun, setelah melalui proses pengolahan dan pencampuran dengan bahan lain, inilah yang menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian umat Islam.
Dr Anna Priangani Roswiem menegaskan, cokelat yang masih dalam bentuk serbuk murni hukumnya halal karena terbuat dari buah cokelat (biji kakao). Namun, saat diproduksi untuk diolah menjadi produk siap saji, cokelat perlu tambahan shellac, yaitu turunan lemak yang berasal dari serangga. Serangga termasuk hewan yang halal sehingga turunan lemak ini pun halal.
“Titik persoalan ada pada proses dan media pelarutannya,” imbuh mantan wakil ketua Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) ini. Shellac tidak bisa larut di dalam air. Untuk melarutkannya, harus ditambah dengan alkohol. Nah, di sinilah titik kritis cokelat, yaitu pengolahannya dengan menambahkan alkohol. Cokelat olahan tampilannya mengilat dan cantik karena memakai shellac. Sedangkan, melarutkan shellac pasti dengan alkohol. “Ini yang harus diwaspadai umat Islam,” katanya mengingatkan.
Merujuk pada Fatwa MUI, alkohol boleh digunakan sebagai pelarut dengan catatan bahan dasarnya bukan berasal dari khamar. Sedikit atau banyak haram hukumnya penggunaan alkohol yang berasal dari unsur memabukkan tersebut. Oleh karena itu, lanjut Anna, alkohol yang dipakai sebagai pelarut shellac dalam cokelat tidak boleh berasal dari khamar. Alkohol bisa dibuat dari bahan alami, seperti buah-buahan atau tumbuhan lainnya.
Singkatnya, pembuatan cokelat berupa gabungan dari serbuk cokelat dan shellac ditambah larutan alkohol. Bahan-bahan ini diputar dengan kecepatan tinggi sehingga alkoholnya menguap.
Produk akhir dari cokelat olahan tersebut, tegas Anna, alkoholnya tidak boleh lebih dari satu persen. Titik kritis cokelat itu dilihat pula pada kandungan alkohol di akhir produksi. Maksimal kandungan alkoholnya hanya sampai satu persen. “Lebih dari itu haram hukumnya,” tutur anggota Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara (MPKS) Kementerian Kesehatan ini.
Ia pun berbagi tips sederhana tentang cara membedakan cokelat dengan kandungan alkohol yang melampaui batas. Cokelat cukup dirasakan dengan lidah. Bila ada efek hangat hingga tenggorokan, terdapat kandungan alkohol. Karena, kata Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, salah satu efek dari alkohol ialah menghangatkan.
Makanya, waspada mengonsumsi cokelat dengan tingkat aroma yang menyengat dan terasa hangat. Adapun titik kritis cokelat lainnya, yakni dari tambahan isi cokelat. Haram hukumnya mengonsumsi cokelat berisi khamar dan rum. Pilihan cokelat ini biasanya berasal dari luar negeri.
Jika masih khawatir, ia menyarankan konsumen Muslim memilih produk cokelat yang telah berlabel halal. “Banyak produk yang telah bersertifikat halal,”ujarnya.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 15 Februari 2013