REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Nurcholish Madjid, Cendikiawan Muslim*
Ibadah haji — seperti telah menjadi pengetahuan umum — adalah rukun Islam yang kelima. Meskipun begitu, yang diwajibkan menjalankannya bukanlah setiap orang Islam, hanya dia “yang mampu menempuh jalan ke sana”. Kemampuan itu tidak hanya diukur dari segi keuangan dan keamanan jalan saja, tetapi juga kesehatan, keadaan keluarga yang bakal ditinggal dan seterusnya. Hal-hal serupa itu diuraikan dengan terperinci dalam ilmu fiqih.
Sebetulnya ibadah haji dalam Islam itu merupakan kelanjutan dari tradisi haji yang sudah ada pada orang Arab sebelum Nabi Muhammad. Islam kemudian mengakui, meneruskan, melembagakan dan memperbaiki tradisi itu. Sebab, sebetulnya tradisi itu berasal dari Nabi Ibrahim as dan anaknya, Nabi Ismail as. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah orang Arab tetapi orang Kaldea di Babilonia, dan istrinya, Hajar, yang melahirkan Ismail adalah orang Mesir. Nabi Ibrahim diakui oleh tiga agama utama yang tumbuh dari kalangan bangsa Semit, Yahudi, Kristen dan Islam, sebagai bapak monoteisme.
Dalam Kitab Suci Alquran kita dapati keterangan-keterangan tentang ibadah haji itu. Keterangan yang agak terperinci terdapat dalam suatu rangkaian ayatayat dalam surat al-Baqarah. Di situ diterangkan hendaknya dalam rangkaian menjalankan ibadah haji itu orang mempergunakan kesempatan sebaik baiknya untuk mengingat Tuhan (berzikir). Dengan zikir seseorang dapat meresapkan rasa ketuhanan atau takwa dalam lubuk hati sanubarinva.
Termasuk dalam zikir itu ialah semua perbuatan atau ucapan yang merentangkan tali hubungan dengan Tuhan.
Di antaranya ialah apa yang kita kenal dengan doa. Berdoa adalah berseru kepada Tuhan, yang kadang-kadang — malah ini yang umumnya dimengerti orang — berarti permintaan atau “petisi”. Tidak mengapa, sebab dengan petisi memang mungkin seseorang akan mengalami kontak dengan Tuhan secara lebih intensif. Namun, petisi atau permintaan itu hendaknya meliputi hal-hal yang bersemangatkan altruisme, artinya tidak terlalu egoistik.
Menyinggung semangat dalam doa itulah rangkaian ayat mengenai haji tadi mengatakan demikian:
“... Dan di antara manusia (yang menjalankan haji itu) ada yang berkata (berdoa): ‘Oh Tuhan, berilah kami di dunia ini kebahagiaan’. Dan baginya tidak ada lagi jatah apa pun yang menyenangkan di akhirat. Dan di antara mereka pula ada yang berkata (berdoa): ‘Oh Tuhan, berilah kami kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat nanti, serta hindarkanlah kami dari siksaan neraka’. Mereka inilah orang-orang yang meperoleh keuntungan dari jerih-payah mereka. Allah itu cepat dalam perhitungan,” (QS 2:200202).
Semangat dari firman Tuhan itu ialah “sinyalemen” bahwa di antara mereka yang menjalankan ibadah haji itu ada yang bermotif mencari kesenangan duniawi. Padahal, sebetulnya ibadah haji adalah untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Keadaan itu agaknya masih berlangsung sejak tiga belas abad yang lalu — sudah tentu sebelumnya juga — sampai sekarang ini. Banyak orang yang menjadikan kesempatan haji itu untuk mencari keuntungan perdagangan sebesar-besarnya. Jika kesempatan itu digunakan secara wajar saja tanpa merusak niat pokok untuk beribadah, sudah terang dapat dibenarkan.
Namun, jika sampai pada tingkat “mendominir” keseluruhan niat kepergian ke tanah suci itu, ia adalah tercakup dalam sinyalemen sebagai orang yang hanya berdoa untuk kebahagiaan duniawi semata-mata. Maka, tidak heran jika di musim haji petugas bea cukai dibikin repot oleh calon-calon haji yang membawa perbekalan jauh melebihi keperluan mereka selama berada di Tanah Suci.
Kelak jika mereka tiba kembali di Tanah Air, petugas itu juga dibikin kewalahan mencegah masuknya barang-barang yang bukan lagi sekadar sorban, kopiah putih, tasbih atau air zamzam, tetapi berupa emas, perak, permata, kain-kain mahal dan barang-barang mahal lainnya.
Dan, juga bukan aneh jika para jamaah sudah pulang, mulailah kedengaran percakapan siapa di antara para haji itu yang berhasil membayar kembali ongkos hajinya, atau malah beruntung. Jika jalan pikiran itu diikuti secara konsisten, maka haji yang kembali dengan perbekalan habis adalah rugi!
Namun, motif-motif keduniawian tidak selalu sejelas itu manifestasinya. Malahan yang naik haji untuk jalan bagi eskalasi perdagangannya itu mungkin sedikit saja jumlahnya. Namun, dalam masyarakat pedesaan yang masih belum seluruhnya bebas dari jalan pikiran magis dan superstisis itu, tentu ibadah haji yang spiritualistik disangkut-pautkan dengan nilai-nilai magis dan superstisis juga.
Umpamanya saja, pergi ke Makkah, Madinah, seperti halnya dengan pergi ke puncak gunung Kawi atau lebih sakti lagi (sebab toh lebih mahal), tentu akan membawa kekayaan. Karena kepercayaan itu bersifat magis, sudah tentu mereka tidak dapat menerangkan dari mana orang yang sudah pergi ke Makkah-Madinah bisa menjadi kaya, tetapi mereka yakin akan hal itu.
Jika dasar kepercayaan itu sudah ada, mudah dipahami kalau doa mereka selama manasik selalu berkisar pada persoalan kekayaan dan kesenangan hidup duniawi itu.
Memang dalam kenyataan dapat dilihat bahwa kedudukan ekonomis para haji di kampung-kampung umumnya lebih baik daripada yang lainnya. Di sini tidak perlu memecahkan teka-teki mana lebih dulu: ayam atau telurnya.
Sudah jelas bahwa naik haji memerlukan ongkos, jadi orang harus mempunyai kekayaan secukupnya dulu. Namun, proses terkumpulnya kekayaan itu sebelum naik haji di kalangan masyarakat pedesaan adalah cukup menarik.
Kalau saja dapat diketahui motivasi pengumpulan itu: apakah mereka secara wajar memang tumbuh menjadi kaya dan karena itu terkena kewajiban menjalankan ibadah haji, ataukah mereka berusaha agar dapat naik haji disebabkan adanya kepercayaan magis tersebut tadi. Tanpa mengabaikan adanya bentuk-bentuk motivasi yang lain, maka jika motif kedua itu yang ada berarti bahwa baginya naik haji adalah suatu penanaman modal!
----------
* Tulisan Almarhum Cak Nur (DR Nurcholish Madjid) ini dikutip dari buku karya lengkapnya: - Keislaman, Ke Indonesiaan, dan Kemoderenan yang disunting oleh Dr Budhy Munawar Rachman.