REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arif Supriyono
Begitu menginjakkan kaki di Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah dari dekat, saya hanya bisa tertegun. Hanya ucapan alhamdulillah dan subhanallah yang sempat terlontar dari mulut, meski sama sekali tak terdengar.
Dada rasanya bergemuruh. Hiruk-pikuk orang di sekeliling saya seperti tak terdengar. Tanpa terasa, air mata mengucur dan membasahi pipi. Lidah pun terasa kelu. Bibir tak lagi mampu mengucap kata. Hanya hati yang sepenuhnya bicara dengan segala puja-puji dan permohonan doa.
Bersama jamaah haji lain yang masih satu rombongan, kami lalu melakukan thawaf, berjalan mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Setelah shalat sunnah, kami pun lantas melakukan sa'i dari bukit Shofa dan Marwah tujuh kali (3,5 kali pp/pulang-pergi) untuk melengkapi ritual umrah wajib.
Saat istirahat di kamar Hotel Sofitel yang hanya berjarak 50 m dari lingkungan Masjidil Haram, saya menceritakan pengalaman yang saya rasakan itu. Hampir semua rekan saya merasakan hal serupa. ''Sama, saya juga begitu,'' kata rekan-rekan saya.
Kekaguman dan kerinduan terhadap Ka'bah memaksa kami berempat (yang kebetulan tinggal sekamar) untuk menyusun strategi tambahan dalam beribadah. Itu kami lakukan, karena kami hanya punya kesempatan empat hari tiga malam tinggal di Makkah. Selebihnya, kami bermalam di Madinah dan Mina. Tentu kami tak akan melewatkan ritual wajib dan sunnah lainnya.
Mencium Hajar Aswad (batu hitam di sudut Ka'bah) serta shalat di Multazam (tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka'bah) dan Hijr Ismail merupakan hal yang juga ingin kami jalankan. ''Di luar itu, bagaimana kalau kita berdua mencoba untuk merasakan shalat di barisan terdepan Masjidil Haram. Biar tahu dan merasakan, seperti apa suasananya'' bisik Hendry Setiawan, rekan sekamar saya yang juga kabag keuangan Pemkot Tulungagung, Jatim. Saya langsung mengiyakan ajakan ini.
Ada rasa penasaran juga, seperti apa shalat pada barisan depan di Masjidil Haram. Membayangkan hal itu, saya sempat merinding. "Ya Allah, perkenankan aku mendekati rumah-Mu,'' pinta saya.
Sekitar pukul 02.30 waktu setempat, saya dan Hendry segera bergegas menuju masjid. Kami langsung thawaf, shalat tahajud, dan shalat sunnah lainnya. Tanpa terasa, ketika melirik jam tangan, waktu sudah mendekati shalat Subuh. Maka, kami bersiap-siap mendekat Ka'bah lagi agar bisa mendapat barisan terdepan.
Diusir petugas
Dengan keyakinan tinggi, sebelum azan subuh mulai berkumandang, kami lantas duduk di barisan paling depan bersama beberapa orang lainnya yang tak saya kenal. Namun, ternyata saya salah perhitungan. Saya terlalu maju satu shaf/baris.
Saya dan semua yang ada di barisan itu diusir dan ditarik paksa oleh petugas sampai terhuyung-huyung. Rupanya, baris itu memang harus dikosongkan dari jamaah lain dan khusus untuk shaf shalat para polisi. Saya pun setengah mati mencari tempat. Semua baris sudah penuh dengan jamaah lautan manusia yang berdempetan. Dengan setengah terjepit, akhirnya saya mendapatkan tempat shalat juga meski ada di barisan yang lebih belakang.
Rasa penasaran untuk shalat subuh di barisan depan belum juga hilang. Maka, esoknya pun kami niatkan lagi. Seperti hari sebelumnya, tatkala menjelang subuh kami langsung mencari tempat shaf di depan pintu Ka'bah. Bedanya, saya dan Hendry terpisah tanpa tahu posisi masing-masing.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya pun menghitung deretan marmer yang menjadi lantai masjid. "Kemarin saat duduk di deretan marmer keempat dari Ka'bah, saya diusir. Berarti, shaf pertama ada di deretan marmer kelima,'' tutur saya dalam hati. Lalu, saya pun duduk di deret marmer kelima.
Alhamdulillah, saya tak lagi salah perhitungan. Dengan jelas saya bisa mengikuti persiapan shalat subuh. Tepat di bawah Ka'bah di sebelah kanan pintu Ka'bah (jika posisi kita menghadap Ka'bah) rupanya ada marmer yang bisa dibuka dan berisi colokan untuk menghubungkan arus listrik.
Di situlah mikrofon dipasang dan di situ pula imam memimpin shalat.Ada enam mikrofon di dekat posisi imam berdiri, empat mikrofon di posisi rukuk, dan empat mikrifon di posisi sujud. Imam shalat muncul dari balik Hijr Ismail. Selesai shalat, imam kembali ke Hijr Ismail. Dan saya menduga, imam datang dan pergi melalui terowongan yang ada di dalam Ka'bah. Wallahu 'alam.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Senin, 26 Nopember 2007