REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gaya hidup masyarakat kini menghendaki segala sesuatunya lebih mudah, praktis dan nyaman. Demikian juga dalam hal makanan. Kalau dulu, untuk bisa menikmati daging kepiting seseorang harus bersusah-susah dengan capit dan cangkangnya yang keras dan tajam. Selain itu ia juga harus berkotor ria di tukang ikan atau di pasar. Namun kini makanan itu telah tersedia di sebuah kemasan berbentuk silinder bernama kaleng.
Dalam bentuk demikian kepiting itu bisa tahan berbulan-bulan, bahkan hingga dua tahun, tanpa mengalami kerusakan atau perubahan rasa. Konsumenpun tak perlu lagi susah untuk menghilangkan kulitnya. Bahkan pada beberapa produk konsumen sangat dimanjakan dengan produk yang berbumbu lezat. Sehingga untuk memakannya tinggal membuka, memanaskan sebentar dan langsung dapat disantap.
Beberapa keuntungan yang dimiliki makanan kaleng memang cukup membantu konsumen. Salah satu yang paling menonjol adalah makanan ini bisa tahan cukup lama hingga dua tahun tanpa mengalami kerusakan dan perubahan rasa. Dalam kondisi normal produk tersebut hanya bisa bertahan beberapa jam saja sebelum akhirnya busuk.
Namun selain keuntungan dan kelebihan yang dimiliki, makanan kaleng juga mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah perubahan warna dan tekstur pada bahan pangan yang tidak tahan panas. Selama proses sterilisasi, selain mampu membunuh bakteri dan jamur, ia juga bisa menyebabkan kerusakan dan perubahan fisik pada bahan makanan. Misalnya untuk sayuran dan buah-buahan kaleng akan terjadi perubahan warna, tekstur dan rasa.
Selain itu kehalalan makanan kaleng juga harus diwaspadai. Pada bahan makanan segar kita akan mudah melihat secara fisik apakah daging dan bahan lainnya halal atau haram. Namun dalam kaleng, apalagi sudah diolah, status kehalalannya menjadi lebih susah dinilai.
Beberapa hal yang mempengaruhi kehalalan makanan kaleng antara lain adalah penggunaan bahan yang tidak halal serta proses pengolahan dan pencampuran produk. Bahan pangan yang dikalengkan haruslah bahan-bahan yang halal agar dapat dikonsumsi bagi kalangan Muslim. Jika digunakan bahan-bahan yang tidak halal, maka makanan kaleng itu secara otomatis akan haram juga.
Proses pengolahan makanan kaleng yang halal juga harus dilakukan dengan baik dan bersih, tanpa menggunakan bahan tambahan yang tidak halal. Salah satu proses yang cukup kritis adalah penyembelihan hewan untuk produk-produk daging. Bisa saja produknya adalah corned sapi, tetapi jika tidak disembelih secara Islam maka ia juga akan menjadi haram. Selain itu bahan tambahannya juga sering mempengaruhi kehalalan, seperti penggunaan gelatin haram untuk campuran cornet atau casing haram untuk produk sosis.
Salah satu titik kritis yang sering mengelabui konsumen adalah proses produksi yang bercampur antara produk halal dan non halal. Demi meningkatkan efisiensi, produsen kadang-kadang memproduksi beberapa jenis makanan halal dalam satu lini produksi. Masalahnya jika ada jenis produk yang tidak halal dan ada yang halal dalam satu lini, maka hal itu akan menyebabkan kontaminasi. Konsumen tentu akan menyangka kalau jagung atau jamur kaleng itu halal. Tetapi jika ternyata ia diproduksi bersama dengan produk-produk babi, maka hal ini akan mempengaruhi kehalalannya.
Di pasaran banyak sekali produk kaleng dengan merek dan produsen yang sama ternyata memiliki jenis yang bermacam-macam. Ada jamur dalam kaleng, ada pula babi dalam kaleng. Nah, kalau sudah demikian, sebaiknya konsumen harus lebih hati-hati dan waspada.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 29 Desember 2006