REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pertama didirikan, awal tahun 1999, masyarakat Papua Nugini, khususnya yang bermukim di Port Moresby, ibu kota negara, protes keras. Tak hanya itu, pemuka masyarakat dan politisi juga saling berpolemik di media massa.
Belum lagi, banyak teror yang dialamatkan ke masjid tersebut -- mana masjid diambil dari nama distrik di mana masjid itu berada, Halola. Satu-satunya masjid di PNG ini juga pernah mengalami usaha pembakaran. Penyusup masuk ke dalam masjid setelah merusak pagar besi dan membakar beberapa bagian masjid. Namun aksi ini berhasil digagalkan, dan api yang belum begitu luas menjalar segera dipadamkan.
Kebencian terhadap Islam antara lain disulut oleh komentar Menteri Dalam Negeri PNG waktu itu, Andrew Kumbakor. Seperti ditulis The Post-Courier, ia tidak setuju Islam dikenalkan di Papua Nugini. ''Becermin pada Indonesia dan Filipina, tak ada manfaatnya agama ini dikenalkan,'' ujarnya. Menurutnya, Papua Nugini akan 'selamat' dari aneka krisis jika selektif dalam mengadopsi suatu agama.
Menurutnya, konstitusi PNG memang menjamin kebebasan beragama, namun masuknya organisasi agama baru dengan kepercayaan dan aksi yang berbeda harus "menjadi perhatian semua kalangan". ''Kita tidak ingin Muslim masuk PNG, karena kita sudah mempunyai agama Melanesia dan Kristen,'' ujarnya.
Maka, rencana mengubah beberapa undang-undang untuk mengontrol pertumbuhan agama-agama non-Kristen pun bergulir. Yang ditugasi menyiapkan draf undang-undangnya waktu itu adalah Menteri Dalam Negeri, Andrew Kumbakor. Dengan undang-undang baru itu, maka aktivitas agama-agama di luar Kristen dalam masyarakat baru boleh berjalan setelah mendapat 'stempel' dari pemerintah.
Kumbakor terang-terangan menyebut, pengubahan UU itu terkait dengan pembangunan Masjid Halola di Port Moresby. Dan, amarah pun dialamatkan ke masjid ini.
Segelintir orang membenci Islam, namun banyak pihak menyokongnya. Beberapa organisasi agama Kristen dan Katolik moderat justru menuliskan dukungannya, dan aktif menggelar dialog lintas agama. Dan, enam tahun setelah pendiriannya, Masjid Halola hingga kini masih berdiri kokoh.
Di tempat inilah, kaum Muslim PNG yang jumlahnya hanya segelintir itu -- kebanyakan ekspatriat Muslim -- melakukan ibadah shalat Jumat. Beberapa kajian keislaman juga digelar di sini.
Bangunannya juga bertambah megah. Dua menaranya terlihat dari perbukitan Halola. Lantainya terbuat dari keramik halus yang ditutup dengan karpet warna marun. Pada jarak tertentu terdapat garis biru, sebagai penanda shaf. Ruang bagi jamaah laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan sebuah partisi.
Dan, ada yang berubahan pada masyarakat PNG dalam memandang Islam dibanding era 1990-an. Mereka lebih terbuka, justru pada saat Barat mengambil posisi memojokkan Islam dengan isu terorismenya.
Beberapa kali, isu-isu itu diangkat di media lokal. Misalnya saat Gubernur Provinsi Morobe, Luther Wenge, meminta warga PNG mewaspadai organisasi Islam pascatragedi Bom Bali di Indonesia. Namun media cukup berimbang dengan mewawancarai tokoh Muslim PNG, Jacoud Amaki.
"Jauh kemungkinannya Muslim PNG akan menjadi radikal. Kami cinta damai dan jumlah kami minoritas di sini. Begitu ada orang asing datang dan mempengaruhi yang tidak-tidak pada kami, maka dengan mudah kita akan mengusirnya," ujarnya.
Amaki adalah "pendatang baru" dalam komunitas Muslim. Sebelumnya, penduduk asli PNG ini penganut agama lokal yang berpaham animisme. Bersama dia, terdapat sekitar 1.000 mualaf dari suku asli di PNG.
Bahkan, salah seorang pengurus Islamic Society of Papua New Guinea (ISPNG), Michael Korah, belum dua tahun menjadi Muslim. Dia berasal dari Provinsi Chimbu. Pekerjaan sehari-harinya sebelum menjadi Muslim adalah sebagai guru agama di sebuah sekolah Katolik.
Ketertarikannya bermula saat terjadi polemik panjang tentang pembangunan Masjid Halola. Ia mencari banyak buku mengenai Islam -- hal yang tak mudah didapat di PNG.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 30 Desember 2005