Jumat 04 Dec 2020 05:03 WIB

Kisah Seruan Jihad Dalam Episode Kekuasaan Mataram Islam

Soal jihad dalam masa kraton Mataram Islam

Pangeran Diponegoro naik kuda, mengenakan jubah dan surban, ketika beristirahat bersama pasukannya di bantaran sungai Progo, pada penghujung tahun 1830.
Foto:

Selain sang eyang, yakni Sultan Hamengku Buwono I, Peter Carey dalam email yang dikirimkan ke penulis menceritakan bahwa ada sosok lain yang jauh-jauh hari sudah meramalkan Diponegoro sebagai seorang pemimpin di masa krisis. Sosok itu terindikasi seorang ulama asal Blitar yang menyebut dirinya sebagai 'Iman Sampurno' (Iman yang sempurna). Penyebutan nama ini menandakan dia dikenal sebahagi orang bijak dan alim.

Peter Brian Ramsay Carey (nama lengkap Peter Carey, red) menyatakan Kiai Iman Sampurno memperkirakan bila tiba masa keadaan darurat, pada saat itulah Diponegoro akan tampil sebagai pemimpin. Dalam kepercayaan Jawa disebut sebagai satria piningit atau Ratu Adil.

"Ada suatu kaitan menarik dalam pernyataan yang dibuat oleh Iman Sampurno kepada penguasa Surakarta yang mempunyai arti penting bagi Diponegoro. Ia mengaitkan datangnya Ratu Adil dengan muncul­nya "seorang raja yang akan menjadi [Raja] Paneteg Panatagama", seorang “Pe­negak dan Penata Agama”. Tokoh ini, katanya, akan merupakan se­­orang “yang berkepribadian menawan, seorang manusia Mataram sejati,'' kata Peter Carey.

Adanya dua pengamatan tersebut tampak menyiratkan bahwa Iman Sampurno​ mungkin mempunyai gambaran tentang seseorang dalam benaknya yang sangat mirip dengan Diponegoro, yang berasal dari Mataram dan memang menawan rupanya. Orang itu tidak hanya pangeran yang berasal dari garis keturunan kerajaan Mataram berkat kelahirannya sebagai putra sulung Sultan ketiga, tapi juga yang memandang dirinya sendiri sebagai seorang “Penegak dan Penata Agama”. Ini merupakan intisari panggilan hidupnya sebagai seorang Ratu Adil.

Soal ini, lanjut Peter Carey, dapat dilihat dalam naskah-naskah Makassar Diponegoro sendiri (Januari 1838), khususnya rujukannya pada “manusia paripurna” (insan kamil; hlm. 131), yang tampil mengesankan dalam bagian terakhir ajaran Iman Sampurno. Ini dapat diketahui dari suatu laporan Belanda yang ditulis hanya setahun sesudah pecah Perang Jawa.

Laporan itu menyatakan bila kepercayaan terhadap Ramalan Joyoboyo (datangnya Ratu Adil) itu tersebar luas dan diyakini akan terjadi. Tak hanya dipercaya sebatas di kalangan kraton belaka, namun juga dipercaya pada jaringan pergaulan antar pemuka agama yang lebih luas di mana Iman Sampurno merupakan bagiannya:

"Di keraton-keraton beredar suatu ramalan [...] dari seorang raja berna­ma Joyoboyo bahwa [...] suatu keraton Jawa tidak akan bertahan lebih dari seratus tahun. Raja-raja, para pengikut mereka, kaum cende­kia dan pemuka agama semua menaruh hormat dan kepercayaan yang men­dalam terhadap ramalan ini dan mereka yakin bahwa masa hidup Keraton Yogyakarta sudah genap dan masa hidup Keraton Surakarta segera akan berakhir. Mereka semakin yakin dengan semua itu karena, kata mereka, ramalan itu tidak pernah gagal […]."

Maka dari sanalah kemudian Diponegoro memimpin perlawanan terhadap Belanda dengan landasan kepercayaan diri sebagai Ratu Adil. Kehadiran dia waktu itu tepat yakni ketika suasana zaman memang tengah mengalami krisis, mulai adanya wabah, persoal sosial ekonomi yang akut, persoalan politik kekuasaan internal Kraton Yogyakarta, persoalan pemerintah Hindia Belanda, hingga persoalan terjadi atau berubahnya tatanan baru dunia secara global.

Maka tepat bila saat itu yakni di tengah 'goro-goro' (huru hara) munculah seorang Ratu Adil alias pemimpin di masa krisis!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement